
Ujian dan Si Jupe yang Setia
“Man saara ‘alad darbi washala” – Barang siapa berjalan pada jalannya, sampailah ia.
“Panasnya nyucuk banget hari ini…”
Aku mengeluh sambil menyeka keringat yang mengalir dari pelipis. Matahari serasa sengaja lebih dekat hari ini, ngetes bukan cuma fisik, tapi juga mental.
Di depanku, berdiri motor tua kesayanganku—Si Jupe. Helm sudah menempel di kepala. Si Jupe ini bukan motor mahal, malah lebih mirip veteran perang. Suaranya kadang batuk-batuk, bodinya sudah banyak goresan. Tapi yang paling aku suka: dia setia.
“Nah, Jupe, jangan ngambek ya. Hari ini kita ujian. Ayo tunjukin kalau kamu masih tangguh.”
Aku mutar kunci kontak. Si Jupe berderak… lalu menyala. Suaranya berat tapi mantap. Aku tersenyum, “Good boy…”
Tujuanku: kampus IAIN Syekh Nurjati Cirebon.
Hari ini aku ikut ujian masuk. Antara deg-degan dan ngantuk karena tidur cuma dua jam semalam, tapi tekadku utuh. Ini langkah awal buat masa depan yang selama ini hanya bisa aku doakan dalam diam.
Begitu sampai, aku dibuat melongo.
“Ya Allah… rame banget.”
Orang-orang dari berbagai kota datang. Ada dari Cirebon, Indramayu, Kuningan, Majalengka—semuanya dengan harapan yang nyaris terlihat di mata mereka.
Aku berdiri sendirian, bingung, sampai seseorang menyapaku.
“Bro, dari mana?”
Seorang cowok jangkung menyodorkan tangan dan senyum.
“Cirebon,” jawabku.
“Aku Lucky, dari Indramayu.”
“El-Qolam.”
Kami ngobrol sebentar, ringan tapi hangat. Setidaknya, aku tahu aku nggak sendirian hari ini.
Setelah cek denah ruangan, aku menuju lantai dua.
Tangga curamnya bikin napas ngos-ngosan.
“Ini tangga atau jalur hiking?” gumamku sambil mengatur napas.
Di ruang ujian, aku pilih duduk paling belakang. Pandanganku menyapu seisi kelas… lalu berhenti.
Ada dia. Duduk dengan anggun, wajahnya teduh, kerudungnya sederhana. Tapi… senyumnya itu loh. Lembut banget.
“Namanya siapa?” tanyaku pelan.
Dia menoleh. “Mawar.”
“Cirebon juga?”
“Enggak. Dari luar kota.”
Jawabannya singkat, tapi senyumnya… cukup buat jantungku berdetak lebih cepat.
Gila, kenapa bisa deg-degan gini?
Obrolan kami pendek. Tapi cukup untuk bikin jantung ini kerja lembur. Aku jadi mikir, “Jangan-jangan, ini awal dari sesuatu…”
Tiba-tiba, seorang peserta masuk dengan muka bingung.
“Pak, ruangannya ini ya?”
Panitia menjawab sabar, “Silakan ke akademik dulu, Dek.”
Dia keluar, lalu lima menit kemudian… balik lagi.
“Saya ujian di sini aja ya, Bu…”
Satu ruangan langsung nahan tawa. Mawar ikut tertawa kecil, dan aku? Hanya bisa nyengir sambil curi-curi lihat ekspresinya. Manis banget.
Bel ujian berbunyi. Kertas soal dibagikan. Aku tatap lembar pertama.
“Bahasa Arab…”
“Ya Allah…”
Jujur, aku nggak belajar. Tapi entah kenapa, aku tenang.
“Mungkin karena aku pasrah. Atau mungkin karena aku percaya, Allah nggak akan tidur waktu hamba-Nya berusaha.”
Soal demi soal kuterjang. Yang kupahami, kujawab. Yang enggak? Kutitipkan ke langit.
Setelah ujian, aku keluar ruangan. Nafasku berat, tapi hatiku lega.
Aku lihat ke parkiran. Si Jupe berdiri setia, bodinya memantulkan sinar matahari sore.
“Kita udah sejauh ini, Jupe…”
Aku menepuk pelan bodinya.
Dia diam, tapi aku tahu, dia mengerti.
Aku dan dia sudah melalui banyak hal—hujan, panas, mogok di jalan. Tapi dia selalu ada.
Dan tentang Mawar…
Entah kenapa, aku harap ini bukan pertemuan terakhir. Ada yang tertinggal dari senyum itu. Sesuatu yang bikin aku ingin tahu lebih jauh… lebih dalam.
Ini baru permulaan. Akan ada kisah tentang survei nekat, lika-liku perjuangan kuliah, dan… cinta yang tumbuh dari percakapan ringan. Karena perjalanan menuju mimpi bukan hanya tentang lulus atau gagal. Tapi tentang siapa yang kita temui, bagaimana kita bertahan, dan keberanian untuk terus melangkah… bersama motor tua bernama Jupe.
Dukung kisah ini agar terus berlanjut:
Sawer donasi di sini: https://bagibagi.co/elqolammedia