Seputarcirebon, Gelombang kritik dari masyarakat sipil kembali mengarah pada institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) setelah mencuat laporan mengenai maraknya keterlibatan anggota Polri—baik yang masih aktif maupun yang telah purnawirawan—sebagai beking bagi sejumlah korporasi yang diduga melakukan perusakan lingkungan. Sorotan ini menjadi salah satu isu paling serius dalam audiensi antara koalisi masyarakat sipil dan Komisi Percepatan Reformasi Polri, mengingat dampaknya yang luas terhadap integritas lembaga penegak hukum dan nasib masyarakat di wilayah terdampak.
Isu ini bukan sekadar kritik biasa. Koalisi masyarakat sipil menilai bahwa keterlibatan aparat dalam kepentingan korporasi telah menimbulkan fenomena konflik kepentingan, ketimpangan perlakuan hukum, hingga tindakan represif terhadap masyarakat, terutama masyarakat adat dan kelompok pejuang lingkungan. Sejumlah organisasi hadir dalam audiensi tersebut, di antaranya Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Greenpeace Indonesia, serta Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), yang masing-masing menyampaikan temuan serta analisis mereka mengenai kondisi nyata di lapangan.
Purnawirawan Jenderal Duduki Kursi Komisaris, Konflik Kepentingan Tak Terelakkan
Salah satu isu utama yang disampaikan koalisi masyarakat sipil adalah praktik penempatan purnawirawan jenderal di posisi strategis perusahaan, terutama sebagai komisaris. Direktur Eksekutif ICEL, Raynaldo G. Sembiring, menegaskan bahwa hal tersebut telah menjadi pola sistematis yang patut diwaspadai. Menurut Raynaldo, banyak anggota polisi yang secara sadar maupun tidak, menjadi alat atau pendukung aktif korporasi yang memiliki catatan buruk terkait pengelolaan lingkungan.
“Posisi komisaris yang diberikan kepada purnawirawan jenderal ini bukan sekadar jabatan kehormatan. Itu adalah strategi perusahaan untuk mengamankan kepentingan mereka. Ketika mantan pejabat Polri ada di dalam struktur perusahaan, keputusan Polri di tingkat daerah bisa terpengaruh,” jelas Raynaldo.
Pernyataan tersebut diperkuat oleh Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak, yang menyebut bahwa konflik kepentingan tersebut memiliki efek domino terhadap penegakan hukum. Ketika aparat yang seharusnya menjadi garda terdepan pelindung masyarakat justru memiliki hubungan baik secara personal maupun struktural dengan korporasi, maka independensi hukum akan runtuh.
Leonard menambahkan bahwa kondisi ini berpotensi melahirkan penegakan hukum yang tebang pilih, terutama dalam kasus-kasus lingkungan hidup. Perusahaan yang memiliki afiliasi dengan purnawirawan aparat cenderung mendapatkan perlakuan khusus, sementara pelanggaran-pelanggaran yang mereka lakukan tidak ditindak tegas sebagaimana mestinya.
Laporan Masyarakat Adat Lambat Diproses, Laporan Korporasi Bergerak Cepat
Fenomena lain yang menjadi sorotan adalah ketimpangan respons aparat terhadap laporan masyarakat. Sinung Karto, Kepala Divisi Penanganan Kasus AMAN, membeberkan bahwa laporan dari masyarakat adat mengenai perusakan lingkungan kerap tidak direspons dengan cepat. Bahkan, beberapa laporan terkesan sengaja diperlambat dengan berbagai alasan administratif, padahal dampak kerusakan lingkungan bersifat mendesak dan mengancam kehidupan masyarakat adat yang menggantungkan hidup pada alam.
Sebaliknya, laporan dari korporasi—bahkan yang tidak jarang memiliki konflik dengan masyarakat—justru diprioritaskan dan langsung mendapat tindak lanjut.
“Ini diskriminatif. Masyarakat adat yang tanahnya dirusak, hutannya dibakar, atau sungainya tercemar harus menunggu lama untuk mendapatkan perlindungan hukum. Namun ketika perusahaan melapor bahwa aktivitas masyarakat dianggap mengganggu, aparat langsung bergerak cepat,” ujar Sinung.
Kondisi yang timpang ini dinilai sebagai indikator bahwa terdapat relasi kuasa yang tidak seimbang antara korporasi dan masyarakat. Ketika aparat hukum diduga berperan dalam mendukung kepentingan perusahaan, maka posisi masyarakat adat menjadi semakin rentan.
Desakan Moratorium Pengamanan Korporasi oleh Kepolisian
Koalisi masyarakat sipil dalam audiensi tersebut juga menuntut adanya moratorium terhadap aktivitas pengamanan korporasi oleh satuan kepolisian. Menurut mereka, praktik pengamanan ini menjadi akar dari tindakan represif aparat di wilayah-wilayah yang mengalami konflik lingkungan.
Dalam berbagai kasus, masyarakat adat yang mencoba mempertahankan tanah, hutan, dan wilayah hidup mereka justru berhadapan dengan aparat kepolisian yang bertindak sebagai pengaman perusahaan. Hal ini, menurut para penggiat lingkungan, sangat bertentangan dengan mandat kepolisian sebagai pelindung masyarakat.
Selain moratorium, masyarakat sipil juga mendesak agar polisi aktif yang menduduki jabatan sipil segera dikembalikan ke institusi Polri, sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XXIII/2025. Putusan tersebut menegaskan batasan mengenai peran polisi aktif dalam jabatan publik atau sipil agar profesionalisme penegakan hukum tetap terjaga.
Raynaldo Sembiring menilai bahwa implementasi putusan MK tersebut merupakan langkah penting untuk memastikan Polri tetap fokus pada fungsi utama: melayani, melindungi, dan mengayomi masyarakat.
Komisi Percepatan Reformasi Polri Merespons: Terbuka, tetapi Belum Ambil Sikap
Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri, Jimly Asshiddiqie, memberikan tanggapan atas berbagai masukan yang disampaikan. Meskipun tidak secara langsung mengamini seluruh tuntutan masyarakat sipil, Jimly menegaskan bahwa pihaknya membuka ruang seluas-luasnya untuk menerima aspirasi tersebut.
“Masukan dari masyarakat sipil adalah bagian penting dari proses reformasi kepolisian. Kami mendengar, mencatat, dan mempertimbangkan semuanya,” ujarnya dalam forum audiensi.
Jimly juga menyampaikan bahwa reformasi Polri tidak hanya bergantung pada kebijakan internal, tetapi juga memerlukan pengawasan publik, kerja sama berbagai pihak, serta keberanian untuk melakukan perubahan struktural yang menyentuh akar permasalahan.
Pernyataannya memberi sinyal bahwa meski belum ada keputusan final, isu ini tidak dianggap sebagai masalah kecil. Komisi Reformasi Polri akan memasukkan rekomendasi masyarakat sipil ke dalam kajian reformasi kepolisian yang sedang berlangsung.
Reformasi Polri di Persimpangan: Publik Menunggu Langkah Konkret
Polemik keterlibatan aparat sebagai beking korporasi menunjukkan bahwa reformasi Polri masih menghadapi tantangan berat. Isu ini menegaskan bahwa problem utama bukan hanya soal oknum, tetapi menyangkut relasi struktural antara kepolisian, politik, dan bisnis.
Masyarakat sipil berharap bahwa audiensi ini bukan sekadar formalitas, tetapi menjadi titik tolak bagi langkah nyata dalam menghentikan praktik-praktik yang merugikan masyarakat serta merusak lingkungan. Kepercayaan publik terhadap Polri sebagai lembaga penegak hukum akan sangat ditentukan oleh kemampuan institusi ini memperbaiki integritas dan profesionalitasnya.
Dengan semakin banyaknya kasus kerusakan lingkungan, konflik agraria, hingga kriminalisasi pejuang lingkungan, kebutuhan terhadap institusi kepolisian yang independen dan tidak berpihak menjadi semakin mendesak. Polri harus membuktikan bahwa mereka hadir untuk melindungi rakyat, bukan menjadi perpanjangan tangan kepentingan korporasi.
Publik kini menantikan langkah lanjutan dari Komisi Percepatan Reformasi Polri dan institusi Polri itu sendiri. Apakah reformasi akan berjalan semakin progresif? Ataukah rekomendasi masyarakat sipil hanya akan menjadi catatan tanpa tindak lanjut?
Waktu akan menjawab, namun satu hal pasti: keadilan lingkungan dan masa depan demokrasi Indonesia sangat bergantung pada keberanian institusi penegak hukum untuk berubah.