Seputarcirebon, Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali menjadi sorotan nasional setelah Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, menyampaikan dukungan penuh terhadap program unggulan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto tersebut. Dalam sebuah acara besar yang dihadiri langsung oleh Presiden Prabowo, Bahlil tampil dengan pidato yang bukan hanya berisi data dan kebijakan, tetapi juga sebuah kisah hidup personal yang menyentuh—sebuah perjalanan panjang yang membentuk cara pandangnya terhadap pentingnya akses makanan bergizi bagi rakyat kecil.
Pidato Bahlil yang sarat emosi itu membuat banyak hadirin terdiam. Ia tidak sekadar membahas program pemerintah, tetapi menghadirkan gambaran nyata tentang bagaimana kondisi kemiskinan dan kekurangan gizi masih menjadi bagian dari kehidupan sebagian masyarakat Indonesia, karena ia sendiri pernah mengalaminya secara langsung.
Masa Kecil Penuh Kesulitan: Ketika Gizi Menjadi Barang Mewah
Dalam pidatonya, Bahlil mengisahkan bahwa kehidupannya sejak kecil jauh dari kata mudah. Lahir dari keluarga sederhana di Papua, ia tumbuh dalam keterbatasan ekonomi yang membuat akses terhadap makanan bergizi bukan sekadar sulit, tetapi nyaris mustahil. Ia mengingat masa kecilnya sebagai periode ketika dirinya harus belajar menerima kenyataan hidup dengan segala kekurangan.
Bahkan ketika memasuki usia sekolah dan akhirnya menempuh pendidikan di perguruan tinggi di Jayapura, ia menjalani segalanya secara mandiri. Tanpa sokongan finansial yang memadai, Bahlil bekerja serabutan demi melanjutkan pendidikan. Kondisi itu memaksa dirinya untuk bertahan dengan makanan seadanya, sekadar cukup untuk menghilangkan rasa lapar.
Namun, ia mengaku bahwa suatu masa dalam hidupnya ia benar-benar merasakan busung lapar, sebuah kondisi kekurangan gizi parah yang secara langsung memengaruhi kekuatan fisik dan kemampuan belajarnya. Bahlil menggambarkan masa itu sebagai salah satu fase paling sulit, ketika tubuhnya lemah, kepala sering pusing, dan tenaga cepat habis. Aktivitas belajar menjadi sangat berat, sementara mobilitas sehari-hari pun terganggu.
“Saya pernah merasakan langsung apa itu busung lapar. Itu bukan cerita dari buku, itu terjadi pada diri saya sendiri,” ujarnya dengan nada yang membuat suasana ruangan hening.
Pengalaman pahit itulah yang menanamkan kepekaan mendalam terhadap isu kemiskinan dan ketidakmerataan akses gizi di Indonesia. Bagi Bahlil, makanan bergizi bukan sekadar kebutuhan dasar, tetapi fondasi masa depan seseorang.
MBG: Lebih dari Sekadar Makanan Gratis
Dalam kesempatan itu, Bahlil menegaskan bahwa banyak orang mungkin memandang makanan bergizi sebagai hal yang biasa dan mudah didapatkan. Namun ia mengingatkan bahwa jutaan rakyat kecil, khususnya anak-anak di wilayah miskin atau terpencil, masih kesulitan memperoleh makanan layak.
Ia menyoroti fakta bahwa masih banyak keluarga yang hanya mampu menyajikan makanan ala kadarnya kepada anak-anak mereka, tanpa kepastian nutrisi yang memadai. Di sinilah program seperti MBG menjadi sangat relevan dan krusial.
Menurut Bahlil, MBG tidak boleh dipahami hanya sebagai program membagikan makanan gratis. Lebih jauh, program tersebut adalah ikhtiar menyediakan kesempatan yang lebih adil bagi setiap anak Indonesia untuk tumbuh dengan kualitas terbaik.
Anak yang kekurangan gizi, kata dia, tidak hanya tumbuh lebih lambat dan rentan sakit, tetapi juga menghadapi kesulitan konsentrasi, masalah perkembangan otak, dan dampak jangka panjang terhadap masa depan akademis maupun profesional mereka.
“Program makanan bergizi adalah investasi masa depan bangsa,” tegasnya. “Karena kualitas sumber daya manusia Indonesia dimulai dari apa yang mereka makan sejak kecil.”
Ketimpangan Gizi Antardaerah: PR Besar yang Belum Selesai
Bahlil juga menyoroti persoalan klasik yang selama ini membayangi pembangunan Indonesia, yaitu ketimpangan antara wilayah perkotaan dan daerah pelosok. Menurutnya, daerah terpencil sering kali menjadi wilayah yang paling rentan terhadap kekurangan gizi dan akses pelayanan dasar lainnya.
Karena itu, ia menekankan bahwa MBG tidak boleh hanya berjalan di kota-kota besar atau wilayah yang mudah diakses. Justru wilayah desa-desa pelosok, pegunungan, dan pulau-pulau terpencil harus menjadi target utama karena di sanalah keluarga-keluarga yang benar-benar sangat membutuhkan bantuan ini tinggal.
Ia menyebut bahwa upaya pemerataan program gizi harus disertai pengawasan ketat agar implementasinya tepat sasaran dan terbebas dari masalah birokrasi yang dapat menghambat efektivitasnya. Hal ini penting karena MBG menyentuh langsung kebutuhan mendasar masyarakat.
Apresiasi kepada Presiden Prabowo
Dalam pidatonya, Bahlil juga menyampaikan apresiasi mendalam kepada Presiden Prabowo Subianto. Ia menilai bahwa Presiden memiliki empati kuat terhadap rakyat kecil dan berani mengusung program-program sosial yang menyentuh kebutuhan masyarakat secara nyata.
Ia meyakini bahwa kebijakan yang lahir dari hati serta pengalaman melihat langsung kondisi masyarakat akan jauh lebih berdampak dibanding program yang hanya dirumuskan dari ruang rapat tanpa pemahaman lapangan.
“Pemimpin yang baik bukan hanya memikirkan kebijakan, tetapi merasakan apa yang dirasakan rakyat,” kata Bahlil.
Resonansi Publik: Kisah yang Menggugah Kesadaran
Pernyataan Bahlil yang disampaikan dengan jujur dan emosional itu langsung mendapat perhatian luas. Banyak pengamat menilai bahwa kesaksian personal dari seorang pejabat tinggi negara memberikan perspektif yang lebih manusiawi tentang pentingnya kebijakan publik yang berpihak kepada rakyat kecil.
Kisah masa lalu Bahlil menjadi pengingat bahwa persoalan kekurangan gizi bukan sekadar angka statistik, tetapi realitas hidup yang dialami jutaan anak Indonesia. Pengalaman itu juga menggarisbawahi pentingnya program-program pemerintah seperti MBG sebagai jembatan menuju peningkatan kualitas hidup dan masa depan generasi mendatang.
Pengalaman adalah Guru Terbaik
Di akhir pidatonya, Bahlil seolah ingin menegaskan satu hal: bahwa pengalaman hidup adalah guru terbesar. Dari seorang anak yang pernah merasakan kelaparan, ia kini berada di posisi untuk membantu merumuskan kebijakan nasional. Dan ia menjadikan pengalaman pahit masa lalu itu sebagai pengingat bahwa tugas seorang pemimpin bukan hanya berbicara, tetapi memastikan kesejahteraan masyarakat diwujudkan dalam tindakan nyata.
Baginya, Program Makan Bergizi Gratis adalah salah satu program yang harus diperjuangkan dengan sungguh-sungguh agar dapat berjalan efektif, berkelanjutan, dan menjangkau seluruh pelosok Nusantara. Karena dalam setiap porsi makanan bergizi yang diberikan, tersimpan harapan besar untuk masa depan Indonesia yang lebih sehat, kuat, dan berdaya saing.