
Ada satu waktu yang paling sepi di pondok: selepas isya, saat semua santri sudah kembali ke kamar, dan hanya terdengar suara jangkrik bersahutan. Di saat itu, kamu akan tahu, siapa yang benar-benar merindu… dan siapa yang masih pura-pura kuat.
Namaku Naufal. Santri baru. Baru tiga bulan, tapi rasanya sudah seperti tiga tahun. Pondok ini bukan tempat yang mudah ditinggali bagi orang-orang manja. Tapi juga bukan tempat kejam bagi mereka yang mau belajar.
Di sinilah pertama kali aku belajar, bahwa suara ibu itu bisa terdengar lebih jelas dalam mimpi, daripada dari telepon. Karena, ya, sinyal memang cuma nongol saat hujan deras. Ironis. Tapi begitulah hidup di Pondok Baitul Barakah—barakah yang datangnya diam-diam, kadang tak terasa, tapi nyata.
Setiap hari kami dibentuk oleh rutinitas. Bangun sebelum subuh, nyuci sarung sambil ngantuk, antri mandi dengan air sumur yang suka berubah jadi es batu. Siangnya belajar kitab sampai pusing, sore ngaji, malam hafalan. Ulang. Terus begitu. Seperti roda yang dipaksa berputar tanpa henti.
Tapi dari semua itu, ada satu hal yang membuat aku bertahan: persahabatan.
Aku dan tiga teman sekamar—Haris, Thalib, dan Mizan—adalah orang-orang yang sangat berbeda. Haris suka ngelawak, Thalib kutu buku, Mizan tukang tidur, dan aku? Entah. Tapi kami saling jaga. Saling menegur kalau ada yang bolos ngaji. Saling simpan mie instan buat malam Jumat. Saling tulis catatan kecil di dinding:
“Kalau capek, jangan lupa Allah. Karena Dia nggak pernah capek jagain kamu.”
Lucu ya? Tapi itu nyata. Pondok mengubah kami. Dari anak-anak biasa, jadi pemuda yang tahu artinya bersabar, walau sabarnya kadang dengan mulut manyun. Dari anak yang cuma hafal nama pemain bola, jadi anak yang hafal surat Al-Mulk.
Pernah aku hampir pulang. Pagi-pagi aku ngepak baju, niat kabur karena nggak kuat. Tapi kemudian Haris duduk di sampingku, tanpa kata, dan kasih selembar kertas. Isinya tulisan tangan jelek tapi menyentuh:
“Kalau kamu pulang sekarang, kamu kehilangan kesempatan jadi orang besar. Tapi kalau kamu bertahan, kamu akan tahu… kenapa Allah menaruhmu di sini.”
Sejak itu, aku tak pernah lagi berpikir untuk lari. Karena aku paham: tempat ini bukan sekadar tempat belajar. Tapi tempat dibentuk. Ditempa. Dan pada akhirnya, dipantaskan.
Kini aku duduk di serambi mushola, menatap langit malam. Bintang-bintang seperti berkedip pelan. Seolah ikut mengamini doa-doa yang kami bisikkan setiap malam.
Dan untuk pertama kalinya, aku berani menulis ini di diary kecilku:
Naya – TJI