
Pagi itu, langit tampak bersih tanpa setitik awan. Seolah ia mengerti, hari ini aku butuh ketenangan. Mentari menyapa hangat melalui celah jendela kamarku, menyelinap pelan seperti tangan ibu yang selalu membenarkan selimutku sebelum tidur. Tapi pagi ini, matahari tidak membawakan kehangatan rumah. Ia membawa pesan baru: bahwa aku harus pergi.
Tapi bukan pergi yang menyenangkan, seperti liburan atau piknik keluarga. Ini… pergi yang tidak tahu kapan pulang.
Hari ini adalah hari pertamaku berangkat ke pondok pesantren—tempat asing yang selama ini hanya kudengar dari cerita orang-orang: cerita tentang bangun subuh, hafalan yang tak habis-habis, dan makan pagi yang katanya hanya sepiring kecil nasi dengan sambal superpedas.
Aku belum pernah ke sana. Bahkan namanya saja baru bisa kuingat seminggu lalu: *Pondok Pesantren Thoriqotul Jannah Indonesia Zakat Center*—panjang sekali, sampai-sampai kupikir lebih cocok jadi nama organisasi dunia daripada pesantren.
—
Pukul tujuh pagi, kami bersiap. Mobil keluarga—yang lebih sering dipakai ke pasar dan pengajian RT—hari ini jadi kendaraan sakral yang akan mengantar aku ke dunia yang sama sekali baru. Barang-barangku sudah ditata rapi. Bahkan ibu menyelipkan botol minyak kayu putih dan setumpuk buku doa kecil yang harumnya seperti rak-rak mushaf di surga.
Aku duduk di jok belakang, diam. Suasana dalam mobil hangat, penuh tawa dan nasihat. Ayah bercerita tentang masa mudanya yang keras, Ibu mengingatkan agar rajin cuci baju, dan kakak-kakakku sibuk membuat candaan supaya aku tidak terlihat pucat.
Tapi diam-diam, jantungku berdetak lebih cepat dari jarum detik jam dashboard. Setiap kilometer yang kami tempuh terasa seperti langkah kaki yang menjauh dari rumah. Aku tahu, ini akan jadi titik belok dari hidup yang selama ini kukenal.
—
Begitu tiba di pondok, sesuatu berubah. Aroma udara tak sama. Ada bau khas yang tidak kutemukan di tempat lain: gabungan antara tanah basah, seragam yang baru disetrika, buku-buku pelajaran agama, dan harapan yang belum menguap. Semuanya bercampur dalam satu kesan aneh—asing tapi juga menggugah.
Seorang santri senior menyambut kami. Namanya Zaki, badannya kurus seperti ranting, tapi matanya hidup seperti aliran sungai kecil. Ia tersenyum, “Selamat datang di dunia baru, Najwan.”
Aku mengangguk, walau belum tahu apa maksudnya.
Di kamar baruku, aku bertemu dengan teman-teman yang belum kukenal tapi entah mengapa seperti saudara yang lama hilang: Zakir, Sobri, Bayu Muhyidin, dan Rafif. Mereka menyambutku dengan cara mereka sendiri—entah dengan candaan, atau hanya tatapan sok dewasa yang katanya harus ditiru santri baru.
Di tengah kecanggungan, lonceng pondok berbunyi. Nyaring. Seperti gong perpisahan dari kehidupan lamaku.
—
Kami dikumpulkan di aula utama. Semua wali santri duduk berdampingan, sebagian berusaha tenang, sebagian lagi berjuang menahan air mata. Aku duduk di barisan depan. Di depanku berdiri sosok yang tampak seperti penjelmaan ketenangan itu sendiri: *Kyai Haji Anwar Musadad, S.Ag., M.Si.*
Beliau berbicara dengan suara tenang dan dalam. Tentang ilmu. Tentang sabar. Tentang keikhlasan. Dan tentang bagaimana setiap anak di ruangan itu—termasuk aku—adalah biji yang akan tumbuh menjadi pohon rindang, suatu hari nanti.
Aku ingin mengerti sepenuhnya apa yang beliau sampaikan, sungguh. Tapi pikiranku sibuk dengan satu pertanyaan: bagaimana caranya menahan rindu sebelum malam pertama tiba?
—
Dan benar saja.
Usai acara, keluargaku berpamitan.
Ibu memelukku erat. Ayah mencium keningku. Kakak-kakakku menepuk pundakku seperti tentara yang hendak berangkat ke medan perang. Mereka mencoba tersenyum. Tapi mataku tak sanggup menyembunyikan genangan. Aku menahan, sekuat mungkin.
Mobil itu perlahan menjauh. Lalu hilang di tikungan pondok. Dan aku… berdiri sendiri, seperti sebatang pohon kecil yang baru ditanam di tanah keras.
—
Kembali ke kamar, aku menemukan keheningan. Banyak teman sekamar belum datang. Aku tahu, jika aku diam terlalu lama, kesedihan bisa masuk seperti angin dingin dari jendela yang terbuka.
Maka aku berjalan-jalan. Menyusuri lorong-lorong pondok, halaman yang masih lembap, dan deretan bangunan tua yang seolah menyimpan jutaan doa. Aku menengadah. Langit di atas pondok ini tidak seperti langit di rumah. Ia lebih dalam, lebih hening, seolah siap menampung semua harapan yang belum sempat diucap.
Baru kusadari, pondok ini terletak di tengah kompleks Pertamina. Bangunan megah dan rumah-rumah elit berdiri di sekelilingnya. Tapi pondok ini tidak canggung. Ia tetap tenang, sederhana, dan penuh makna. Seperti pulau kecil yang tidak tergoda oleh gemerlap kapal pesiar.
—
Hari itu, aku belajar satu hal: Kadang, sesuatu yang besar dimulai dari ruang sempit bernama keberanian.
Aku mungkin belum hafal satu juz pun. Aku bahkan belum hapal nama-nama guru di sini. Tapi aku tahu, di tempat ini, aku akan tumbuh.
Dan langit yang bersih pagi itu…
Ternyata tidak sedang menertawakanku.
Ia sedang bersaksi, bahwa seorang anak bernama Najwan…
baru saja memulai langkahnya menuju cahaya.
—
Karya Najwan, Digital Cyber School T.J.I