
Seputar Cirebon – Langit di Atas Tembok Bata. Langit di atas kota tampak kelabu pagi itu, seperti lembaran surat tua yang pernah basah dan kini mengering dengan garis-garis keriput. Di sudut jalan yang tak pernah terlalu ramai, berdiri sebuah rumah kecil dengan taman yang dipenuhi daun-daun gugur. Tak ada yang istimewa dari rumah itu kecuali tembok batanya—berlumut, retak di beberapa bagian, namun tetap berdiri seperti penjaga setia masa lalu.
Di dalamnya, tinggal seorang pria muda bernama Elian. Rambutnya selalu tampak sedikit acak-acakan, dan matanya seperti dua sumur yang menyimpan lebih banyak kenangan daripada mimpi.
Sudah tiga tahun sejak ibunya meninggal. Tiga tahun sejak suara lembut yang selalu menyambutnya saat pulang tak terdengar lagi. Ia tidak pernah benar-benar menyukai kesunyian, tetapi kini ia telah terbiasa dengannya, seperti seseorang yang terbiasa berjalan tanpa tongkat walau pincang.
Setiap pagi, Elian membuat secangkir teh—teh hitam dengan madu, persis seperti yang ibunya suka. Ia duduk di bangku dekat jendela, menatap taman yang mulai ditumbuhi rumput liar. Di sana, ia akan berbicara. Bukan kepada siapa pun yang nyata, tetapi kepada udara yang mungkin—hanya mungkin—masih menyimpan gema tawa ibunya.
“Bu,” bisiknya pagi itu, “aku mimpi aneh semalam. Kau ada di dapur, pakai celemek bunga-bunga itu… Kau bilang aku harus berhenti terlalu banyak berpikir dan mulai membuat sesuatu. Tapi apa, Bu? Apa yang harus kubuat dari hidup yang kosong ini?”
Angin bertiup, menggeser tirai jendela sedikit, dan untuk sesaat, Elian merasa ruangan itu menghangat. Ia tahu, tentu saja, bahwa itu hanya angin. Tetapi hati kecilnya—yang masih anak-anak dalam beberapa hal—ingin percaya ada sesuatu yang lebih dari sekadar logika.
Hari-harinya dihabiskan bekerja sebagai pustakawan di perpustakaan tua dekat stasiun kereta. Ia menyukai baunya—bau kertas tua dan debu, seperti menyusuri lorong waktu ke masa lalu yang lebih sederhana. Ia membaca buku-buku dongeng dan kadang membacakan keras untuk dirinya sendiri saat tak ada pengunjung.
Suatu sore, saat menata rak buku-buku donasi, Elian menemukan sebuah buku lusuh tanpa judul di sampulnya. Saat membukanya, ia menemukan tulisan tangan yang sangat dikenalnya.
“Untuk Elian kecil, agar tak pernah lupa bahwa dunia ini masih punya sihir.” – Ibumu
Tangannya gemetar. Ia menelusuri huruf-huruf itu dengan jari, seperti ingin memeluknya. Buku itu berisi cerita-cerita pendek yang ditulis ibunya sendiri. Tentang peri yang menjaga hutan, kucing yang bisa bicara, dan seorang anak laki-laki yang mencari rumah setelah kehilangan ibunya—dan menemukan bahwa rumah bukan tempat, tapi perasaan.
Malam itu, Elian duduk di bawah tembok bata di taman, membawa buku itu. Ia membacakan keras-keras, suaranya menggema lembut di bawah bintang yang malu-malu muncul. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia tidak merasa sendirian.
Ia tahu jalan hidupnya tidak akan mudah. Tapi kini, ia merasa ibunya tak pernah benar-benar pergi. Ia ada di antara halaman-halaman itu, di dalam teh yang menghangatkan pagi, dan dalam bisikan angin yang menerpa tirai.
Dan Elian tersenyum—senyum kecil, setengah sedih, setengah lega.
Karena meski ia berjalan sendirian, ia tahu kini bahwa cintanya tidak pernah benar-benar hilang.
Cirebon 19 April 2025 – Edy S