
Kau tahu apa yang paling kurindukan dari masa lalu? Bukan libur panjang, bukan pemandangan sawah yang hijau, bukan juga suara adzan subuh dari masjid kampung. Tapi justru, pagi-pagi di pondok, ketika matahari masih malu-malu muncul di balik genteng tua yang mengelupas, dan aku duduk sendiri di serambi mushala, menggigil bukan karena dingin, tapi karena hatiku gamang: “Apa aku kuat bertahan hari ini?”
Begitulah awal kehidupan santri. Penuh tanda tanya, penuh keraguan. Tapi justru di situlah semuanya dimulai.
Namaku Faiz. Anak kelas 2 Aliyah. Sudah tiga tahun kutinggalkan rumah dan menetap di Pondok Pesantren Darul Ishlah—pondok tua yang nyaris tak pernah masuk televisi, tapi di dalamnya mengalir ilmu, kesabaran, dan ribuan doa yang tak pernah disebutkan namanya.
Pondok ini tak selalu damai. Kadang gaduh oleh debat tak penting soal giliran nyuci ember. Kadang ramai oleh tawa tak berujung saat malam panjang sebelum tidur. Dan kadang… sepi oleh kehilangan.
Dulu, aku punya sahabat. Namanya Umar. Anak ustaz terkenal di kampung sebelah. Hafalannya bagus, suaranya merdu saat ngaji, dan kami sering duduk di atas menara mushala setiap malam Jumat, menatap langit dan berbincang soal mimpi.
“Aku ingin jadi ulama besar,” katanya waktu itu. “Yang bisa menulis kitab, keliling dunia, dan tetap sederhana.”
Aku tertawa pelan. “Aku mah cukup jadi guru ngaji kampung.”
Umar menggeleng cepat. “Jangan. Dunia ini terlalu luas untuk kita diam di satu titik.”
Tapi Tuhan punya skenario-Nya sendiri. Umar tak kembali setelah liburan semester. Kabarnya, ia kecelakaan. Tak sempat pamit. Tak sempat menyelesaikan hafalannya. Dan tak sempat lagi menatap langit dari menara mushala bersamaku.
Sejak saat itu, aku jadi lebih banyak diam. Suara tawa tetap terdengar di pondok, adzan tetap berkumandang, bahkan jadwal piket tetap berjalan seperti biasa. Tapi ada yang hilang. Bukan Umar semata, tapi semangatku yang seperti ikut terkubur bersama tubuhnya.
Namun, pondok ini… ah, pondok ini selalu tahu bagaimana menyembuhkan.
Ada ustaz Rahmat, guru Nahwu yang wajahnya galak tapi hatinya lembut. Ada Ilham, teman sekamar baru yang suka menulis puisi di balik kertas bungkus mie instan. Ada Kak Usman, alumni yang datang setiap Sabtu sore membawa buku dan kisah inspiratif. Dan tentu, ada doa-doa yang kami lantunkan setiap ba’da Maghrib, entah untuk siapa, tapi semoga sampai.
Hari-hari di pondok adalah tentang kehilangan dan menemukan. Tentang jatuh, lalu bangkit. Tentang lapar, lalu mengerti arti syukur. Tentang amarah, lalu belajar memaafkan.
Hari ini, aku menatap langit yang biru dari menara mushala. Tak ada Umar di sisiku, tapi ada kenangan yang tertanam kuat. Dan di atas semua itu, ada satu bisik lembut dari dalam hati:
“Kau bertahan. Dan itu sudah lebih dari cukup.”
Karena menjadi santri bukan tentang siapa yang paling banyak hafal, atau paling fasih berceramah. Tapi siapa yang paling tekun belajar, meski jatuh berkali-kali.
Dan langit… ya, langit di pondok ini memang tak selalu biru. Tapi justru karena itu, pelangi sering muncul setelah hujan.
Reni – TJI