
Nekat Survei, Nekat Hidup
Setelah ujian masuk kampus kemarin, pikiranku tak bisa tenang. Meski ujian sudah kulewati, satu pertanyaan besar mengendap dalam dada: “Kalau diterima, gimana aku bayar kuliahnya nanti?”
Langit belum menjawab, tapi semesta mulai menunjukkan celahnya. Seorang kakak tingkat yang sedang kuliah di IAIN Syekh Nurjati Cirebon memberi info: ada lowongan kerja untuk mahasiswa baru. Pekerjaan ringan, katanya, cocok buat yang sedang butuh biaya tambahan.
Tanpa banyak pikir, aku pun mengikutinya. Iseng, tapi serius. Sesuai arahan, aku datang ke Hotel Vinotel, tempat seminar diselenggarakan. Ruangan hotel itu dingin, kontras dengan gugup yang menyelinap di tubuhku. Tapi di sanalah langkah pertamaku dimulai.
Tak disangka, aku terdaftar sebagai salah satu peserta program survei politik. Katanya, tahun 2017 adalah tahun politik panas. Sebuah stasiun TV nasional ingin menggelar survei di berbagai daerah. Aku, si bocah kampung yang masih 18 tahun dan belum punya KTP, kebagian wilayah… Kota Cirebon. Padahal domisiliku di kabupaten.
“Kuota di kabupaten sudah penuh,” kata panitia. “Jadi kamu masuk kota, ya?”
Aku mengangguk, walau dalam hati bertanya-tanya, apa aku sanggup?
Hari berikutnya, aku diberi name tag, pulpen, dan peralatan survei lainnya. Aku menatap semua itu seperti anak kecil menatap peralatan perang. Ini serius. Ini nyata. Aku harus siap.
Keesokan harinya, aku mulai menjalankan misi. Langkah pertama: mendatangi kantor kelurahan. Di sana aku akan meminta data warga untuk survei. Mudah, pikirku.
Tapi ternyata tidak.
Petugas kelurahan memandangku dengan mata tajam.
“Kamu dari mana? Untuk apa minta data warga? Punya KTP?”
Aku menggeleng. “Belum, Pak. Tapi ini ada ID card dari panitia survei.”
Namun jawabannya tegas. “Tidak bisa. Kami tidak bisa beri data ke orang yang belum jelas statusnya.”
Jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya. Badanku lemas. Aku merasa seperti ditolak dunia. Tapi tak lama, aku mengambil ponsel dan menghubungi panitia.
“Kak, tolong. Aku ditolak kelurahan. Mereka nggak percaya aku petugas survei karena belum punya KTP.”
Beberapa menit kemudian, panitia datang. Seorang kakak perempuan turun dari mobilnya dan langsung menghampiri petugas.
“Ini benar peserta resmi dari kami. Silakan bantu,” katanya lugas.
Suasana mencair. Data mulai dibuka. Aku menunduk, bersyukur dalam diam. Ternyata, kadang, perjuangan bukan soal keberanian. Tapi soal siapa yang datang mendampingi saat kau ditolak.
Hari itu, aku pulang dengan kertas berisi daftar nama warga yang harus disurvei. Tidak banyak, tapi cukup untuk membuatku merasa berarti. Dan di balik semua kejadian itu, aku sadar—dunia kerja lapangan itu keras. Tidak seperti yang diajarkan di kelas. Di luar sana, segala sesuatunya tak selalu berjalan mulus. Perlu sabar. Perlu keberanian. Dan kadang, perlu nekat.
Tapi yang paling penting, kita perlu mencoba.
Karena kalau tak pernah mencoba, kita tak akan pernah tahu sejauh mana Allah akan membuka jalan.
Dan hari itu, dengan segala kekacauan dan kekhawatirannya, menjadi hari pertamaku belajar… bahwa kadang jalan menuju kampus bukan lewat gerbang depan, tapi lewat pengalaman di lapangan yang penuh debu dan tanya.
Support cerita: https://bagibagi.co/elqolammedia
Hari ini hanyalah secuil dari proses awal—sebuah permulaan kecil dari rangkaian panjang survei yang akan berlangsung. Besok, dan di hari-hari berikutnya, langkah demi langkah akan membawa kita pada cerita-cerita yang lebih menarik, penuh warna, dan tentu saja sarat makna. Setiap temuan, setiap perjalanan, akan menjadi bagian dari kisah besar yang sedang kita bangun bersama.