
“Kadang, hidup memang seperti langit malam. Gelap, sunyi, tapi selalu ada bintang-bintang yang setia menemani.”
Aku pertama kali tinggal di rumah Nenek saat berusia tujuh tahun. Ayah dan Ibu sibuk bertengkar, lalu memutuskan untuk berpisah. Aku tidak mengerti apa-apa saat itu, hanya tahu bahwa tiba-tiba ada dua koper kecil berisi pakaianku, dan Nenek menjemputku dengan tangan gemetar tapi senyum yang hangat.
Rumah Nenek kecil, beratap seng yang bocor jika hujan deras. Tapi di sana, langit selalu terlihat lebih dekat. Setiap malam, Nenek mengajakku duduk di teras, menatap bintang sambil bercerita tentang rasi bintang.
“Lihat itu, Nak, Orion. Dia pemburu yang gagah. Dan itu Sirius, bintang paling terang di langit malam,” ujarnya, jari keriputnya menunjuk ke langit.
Aku hanya mengangguk, meski yang lebih kuhafal adalah suaranya yang berat namun lembut, seperti selimut tua yang selalu menghangatkan.
Hidup bersama Nenek tidak mudah. Uang pas-pasan, kadang kami makan nasi dengan garam dan telur dadar tipis. Tapi Nenek selalu bilang, “Kekayaan bukan soal banyaknya uang, tapi banyaknya rasa syukur.” Aku tidak paham waktu itu, tapi aku percaya padanya.
Sekolah pun jadi medan pertempuranku. Teman-teman menertawakan karena sepatuku belel, atau karena tidak pernah punya uang jajan. Pulang dengan mata sembap, Nenek hanya mengelus kepalaku.
“Kamu bukan mereka, Nak. Kamu adalah kamu. Dan itu lebih dari cukup.”
Lambat laun, aku belajar. Bahwa hidup tidak harus adil untuk bisa dijalani. Bahwa keluarga tidak selalu tentang ayah dan ibu yang sempurna, tapi tentang siapa yang tetap ada saat dunia berhenti memelukmu.
Sampai suatu malam, Nenek tidak bangun lagi.
Dia pergi dengan tenang, seperti bintang yang padam setelah sekian lama menerangi kegelapan. Aku duduk di teras yang sama, menatap langit sendirian. Orion masih ada. Sirius masih bersinar.
Dan aku tersenyum.
Karena kini aku mengerti—Nenek mungkin tidak lagi di sini, tapi dia telah menjadikanku seperti bintang-bintang itu: kuat, terang, dan tak pernah benar-benar sendirian.
—
(Bagian kedua dari “Nenek dan Rasi Bintang Kita”)
—
“Hidup ini seperti laut. Kadang pasang, kadang surut. Tapi selama kita punya perahu dan tujuan, kita akan sampai.”
—
Jakarta mengajarku banyak hal.
Aku tiba di kota ini dengan selembar ijazah SMA, tas usang, dan tekad sekeras baja. Awalnya, aku hanya menjadi kuli angkut di pasar, tidur di los-los sempit yang bau ikan asin. Tapi setiap malam, sebelum tidur, aku selalu membayangkan wajah Nenek—keriputnya, senyumnya, suaranya yang selalu berkata, “Kamu lebih kuat dari yang kamu kira.”
Lambat laun, aku belajar. Mulai dari jadi pelayan warung kopi, kemudian kasir minimarket, sampai akhirnya memberanikan diri buka usaha kecil-kecilan: jualan nasi bungkus untuk karyawan pabrik. Modal? Hanya nekat dan sedikit tabungan dari kerja selama setahun.
Tapi Jakarta tidak mengasihani orang yang hanya mengandalkan nekat. Aku bangkrut dua kali, hampir menyerah. Tapi bayangan Nenek yang dulu menjahitkan seragam sekolahku sampai matanya merah karena lampu minyak, membuatku terus mencoba.
Hingga akhirnya, usaha ketigaku—distribusi sembako—mulai menampakkan titik terang. Aku tak tidur berhari-hari, mengatur logistik, menjalin relasi, dan pelan-pelan, usahaku membesar. Satu gerai jadi dua. Dua jadi lima. Lima jadi belasan.
Sepuluh tahun berlalu.
Aku kini punya puluhan cabang, mobil bagus, dan rekening yang angka-nya tak lagi bisa kuhitung dengan jari. Tapi ada satu hal yang selalu terngiang: janjiku pada Nenek.
“Kalau aku sukses, Nenek yang pertama aku bahagiakan.”
—
Pulang ke kampung halaman setelah sekian tahun terasa aneh. Jalanan yang dulu becek kini sudah diaspal. Tapi rumah Nenek tetap sama—kecil, dengan atap seng yang masih bocor di beberapa tempat.
Dan di teras itu, Nenek masih duduk, seperti waktu kecil dulu. Hanya sekarang, punggungnya lebih bungkuk, rambutnya seputih kapas.
“Nenek, aku pulang,” kataku, suara serak.
Dia menoleh perlahan, matanya menyipit. Lalu, seperti mengenali suaraku lebih dulu daripada wajahku, bibirnya bergetar.
“Nak…?”
Aku berlutut, memeluknya erat. Bau minyak kayu putihnya masih sama.
“Nenek, besok kita berangkat haji.”
Diam.
Lalu Nenek menangis—tangisan yang pecah setelah puluhan tahun menahan rindu, lelah, dan doa-doa yang tak pernah berhenti dilantunkannya untukku.
“Tapi… tapi itu mahal, Nak…”
Aku tersenyum, mengusap air matanya yang mengalir di keriput pipinya.
“Nenek dulu menjual gelang nikah hanya untuk biayai sekolahku. Sekarang, giliranku membahagiakan Nenek.”
—
Di tanah suci, Nenek seperti anak kecil. Matanya berbinar setiap melihat Ka’bah, tangannya tak henti berdoa. Aku hanya memandangnya, sadar betul bahwa inilah kebahagiaan sejati—bukan uang, bukan kesuksesan, tapi bisa membalas sedikit dari semua yang telah diberikannya padaku.
Di depan Multazam, Nenek berbisik, “Nak, Nenek sudah bahagia. Sangat bahagia.”
Aku memeluknya, mengingat langit malam di kampung dulu.
Kini, bintang-bintang itu bersinar lebih terang.
—
“Kadang, kita harus merantau jauh hanya untuk mengerti bahwa rumah bukanlah tempat—tapi orang yang menunggu kita pulang.”
Lukman – TJI