
Langit sore itu memantulkan cahaya tembaga. Menyusup lembut lewat kisi-kisi jendela mushala, menerpa wajah seorang santri bernama Faiq yang sedang khusyuk mencatat posisi bintang dari kalender hisab yang sudah lusuh di tangannya.
Ia duduk di atas menara kecil pondok. Di bawah, teman-temannya tengah berlatih marawis untuk penampilan malam Jumat. Tapi Faiq, ia lebih memilih menara itu. Tempat di mana langit terasa lebih dekat, dan mimpi-mimpinya tidak terasa seaneh biasanya.
“Apa kau yakin masih ingin jadi astronom?” tanya Arman, sahabat sekamarnya, sambil membawa dua gelas teh tawar dari dapur.
Faiq mengangguk, matanya tak lepas dari langit yang mulai kelam. “Langit tidak pernah berdusta. Ia hanya menunggu orang-orang yang sabar membacanya.”
“Dan pondok ini… bukan NASA, Faiq.”
Mereka tertawa. Bukan tertawa menghina, tapi tertawa pahit atas kenyataan. Pondok mereka sederhana. Punya satu teleskop rusak yang dibeli dari pasar loak, ditaruh di perpustakaan dan lebih sering berdebu daripada digunakan. Tapi Faiq merawatnya. Membersihkannya diam-diam tiap malam. Ia bahkan menamai teleskop itu: Qiblat.
Karena dari sanalah ia belajar banyak hal—tentang arah, tentang kesabaran, tentang melihat jauh ke depan.
Pernah suatu hari, ia ditegur oleh ustaz karena tidak ikut ronda malam. Padahal malam itu, ia tengah mengamati gerhana penumbra yang langka.
“Faiq, menjadi santri itu berarti taat. Tidak semua hal bisa kau prioritaskan menurut logikamu sendiri,” ujar sang ustaz dengan nada tegas.
Ia tertunduk. Tapi tak membela diri. Karena ia tahu, pondok ini mengajarkannya lebih dari sekadar hafalan. Ia belajar tentang menyelaraskan langit dan bumi. Antara mimpi dan realita.
Suatu malam, pondok kedatangan tamu dari luar negeri. Seorang ilmuwan Muslim yang menjadi dosen di Universitas Istanbul. Ia bicara tentang waktu, langit, dan bagaimana Islam menyumbang besar pada ilmu astronomi.
Faiq duduk di barisan paling belakang. Tapi matanya berbinar.
Ketika sesi tanya jawab dibuka, hanya satu tangan yang terangkat. Tangan Faiq.
“Saya hanya santri biasa. Tapi saya ingin bertanya… bagaimana caranya agar mimpi tetap hidup, meski kita hidup di tempat yang serba terbatas?”
Sang ilmuwan tersenyum. Jawabannya sederhana, tapi menghujam.
“Langit di atas Istanbul sama dengan langit di atas pondokmu. Kalau kamu terus melihatnya, kelak ia akan mengenalmu.”
Beberapa tahun setelahnya, sebuah nama muncul sebagai mahasiswa berprestasi di bidang astronomi, mewakili Indonesia ke konferensi pemetaan bintang di Malaysia.
Namanya: Faiq Nurzaman.
Asalnya: Sebuah pondok kecil di sudut Jawa.
Dan di akun sosial medianya, tertulis bio singkat:
“Langit mengenal siapa yang terus menatapnya dengan sabar.”
Nadhiva Fauzzaima – TJI