
A little girl with a sad look behind a metal fence. Social problem of refugees and forced migrants.
Di Pondok Pesantren Tji, waktu berjalan dengan cara yang aneh. Pagi terasa begitu panjang, siang seolah berat menurunkan matahari, dan malam, ah, malam di sini sering kali datang terlalu cepat — secepat rasa rindu yang muncul tanpa permisi.
Namaku Hilmi. Santri kelas dua di Tji, sebuah pondok pesantren tua di pinggir kota, yang bangunannya sudah lapuk di sana-sini, tapi entah mengapa, tetap kokoh di hati kami. Gerbang kayunya yang berderit jika dibuka, halaman penuh batu kerikil, dan suara azan subuh dari mushala kecil di sudut timur pondok — semuanya seperti lukisan hidup yang tak pernah pudar.
Di pondok ini, setiap anak punya ceritanya masing-masing. Ada Fajar, si pemberani yang diam-diam takut hantu. Ada Karim, yang selalu menjadi juara dalam lomba hafalan, tapi tak pernah menang dalam permainan gobak sodor. Dan ada aku, anak kampung yang masih belajar cara menguatkan hati saat surat dari rumah tak kunjung datang.
Aku ingat pertama kali masuk Tji. Wajah-wajah asing menatap dari balik jendela kamar, udara sore yang membawa bau wangi kayu bakar, dan suara ustaz Farhan yang mengumandangkan iqamah magrib. Aku tidak menangis waktu itu, tapi dada ini kosong seperti sumur kering di musim kemarau.
Hari-hari di Tji diisi dengan jadwal yang tak pernah kompromi. Bangun pukul 04.00 subuh, salat berjamaah, lalu mengaji hingga matahari muncul malu-malu di ufuk timur. Pelajaran pagi dimulai pukul 07.00, makan seadanya, lalu lanjut sekolah hingga siang. Sore adalah waktu paling dinanti — bukan karena lepas dari pelajaran, tapi karena saat itulah kami bisa duduk di pelataran pondok, berbagi cerita, atau sekadar menatap langit yang entah mengapa, di sini selalu lebih biru.
Aku dan Fajar biasa duduk di dekat pagar belakang pondok. Di sana ada pohon jambu biji tua yang daunnya rimbun. Tempat sempurna untuk mengendap kabur dari jadwal piket atau pura-pura menghafal saat sebenarnya sedang bermain kelereng.
“Di Tji ini, yang kuat bukan yang pintar,” kata Fajar suatu sore. “Tapi yang bisa tahan saat rindu datang tiba-tiba.”
Aku hanya tertawa. Tapi sebenarnya aku paham maksudnya.
Karena di pondok, rindu itu seperti angin. Kau tak bisa melihatnya, tapi kau bisa merasakannya menyelinap lewat jendela kamar, lewat suara adzan magrib, lewat bau tanah basah selepas hujan, dan lewat mimpi tentang rumah.
Pernah, malam-malam aku duduk sendiri di mushala, membaca surat-surat lama yang kukumpulkan dalam kotak kecil di bawah ranjang. Surat dari Ibu, dari Bapak, dari adik yang baru bisa menulis huruf miring-miring. Kadang aku menangis diam-diam. Bukan karena lemah, tapi karena di pondok ini, tidak ada siapa-siapa yang bisa memeluk saat kau butuh.
Tapi justru dari sanalah aku belajar tentang kuat. Tentang cara menahan air mata, tentang menyimpan rindu dalam doa, tentang memeluk sepi seperti sahabat lama.
Pondok Pesantren Tji mungkin tidak besar. Dindingnya banyak bercak, pintu kamarnya berderit, dan kamar mandi umumnya kadang mampet. Tapi di sinilah aku belajar tentang hidup.
Tentang bagaimana memaafkan teman yang menyembunyikan sandal saat waktu subuh. Tentang berbagi nasi goreng yang porsinya hanya setengah piring. Tentang sabar menunggu giliran mandi saat air tiba-tiba mati. Tentang diam-diam mendoakan teman yang besok ikut lomba pidato.
Dan tentang persahabatan yang tak diikat janji, tapi cukup dengan sepotong senyum di balik pagar Tji, saat senja mulai jatuh.
Aku yakin, suatu saat nanti saat aku sudah tua, nama-nama itu akan tetap tinggal di hatiku. Fajar, Karim, Ustaz Farhan, juga Pondok Pesantren Tji yang mengajarkan bahwa kebahagiaan itu sederhana.
Cukup bisa tertawa meski perut lapar.
Cukup bisa salat subuh berjamaah meski mata lengket.
Cukup bisa memejamkan mata di malam yang sunyi, sembari bisikkan satu doa sederhana.
Amelia – TJI