
Hari ini, aku bangun lebih pagi dari biasanya.
Bukan karena mimpi buruk. Bukan pula karena dibangunkan alarm yang sudah empat bulan rusak dan belum sempat aku perbaiki. Tapi karena semalam, langit seperti menulis sesuatu padaku. Lewat cahaya bulan yang menggigil di balik jendela kamar pondok kami yang reyot, aku merasa ada sesuatu yang perlu disampaikan. Sesuatu yang tidak bisa ditunda.
Namaku Rayhan. Santri kelas dua Aliyah di Pondok Pesantren Al-Muhibbin. Di sini, hidup kami adalah irama dari ayat-ayat dan adzan. Waktu bukan ditandai oleh detik jam dinding, melainkan oleh kapan iqamah berkumandang. Dan hari-hari bukan diwarnai oleh konten TikTok, melainkan oleh hafalan dan kitab kuning yang aromanya seperti waktu tua: tua tapi penuh makna.
Aku tidak sedang membesar-besarkan.
Pondok ini tidak megah. Tidak seperti pesantren-pesantren yang sering muncul di brosur pendidikan Islam modern. Tapi di sinilah aku belajar tentang sabar. Tentang syukur. Tentang bagaimana tidur beralaskan tikar bisa lebih damai dibanding kasur empuk hotel bintang lima—asal tidurmu bersih dari dengki dan prasangka.
Aku punya sahabat. Namanya Ikram.
Dia santri yang paling rajin bangun malam. Bukan untuk tahajud. Tapi karena kerap dilanda rindu. “Ray, katanya doa orang yang rindu lebih cepat sampai,” katanya suatu malam sambil duduk di emperan musala, memandangi langit yang memar biru keunguan.
“Aku rindu siapa?” tanyaku saat itu, separuh bercanda.
“Bukan siapa. Tapi apa. Aku rindu rumah. Rindu masa kecil. Rindu suara ibu dari dapur,” jawabnya. Aku diam. Karena sebenarnya aku juga rindu hal yang sama, hanya terlalu gengsi untuk mengakuinya.
Hidup di pondok memang tidak selalu tentang kisah religius yang manis. Kami juga sering saling menyembunyikan mie instan di bawah bantal, diam-diam main gawai di kamar mandi, atau pura-pura menghafal padahal cuma menatap satu ayat selama satu jam. Tapi semua itu adalah bagian dari perjalanan. Bagian dari proses kami belajar menjadi manusia.
Pernah suatu hari, aku hampir pulang. Menyerah.
Hari itu, aku dimarahi ustaz karena lupa hafalan. Di depan teman-teman. Di hadapan seisi kelas. Hargaku sebagai santri—hancur. Aku duduk sendirian di pojok kamar, memeluk lutut, dan menulis surat kepada ibu.
“Bu, bolehkah aku pulang? Aku sudah lelah.”
Tapi surat itu tak pernah aku kirim. Karena malamnya, Ikram datang diam-diam dan meletakkan sebuah kertas kecil di bawah sajadahku. Isinya cuma satu kalimat:
“Jika langit saja sabar menampung mendung, kenapa kau tidak bisa sabar menampung kecewa?”
Malam itu aku menangis dalam sujud.
Dan sejak malam itu, aku menulis surat-surat kepada langit. Bukan karena aku gila, tapi karena aku percaya, Tuhan membaca yang tidak sempat terucap.
Sekarang, sudah bulan ketujuh. Aku sudah hafal tiga juz. Aku belajar tidak mengeluh jika air kamar mandi keruh. Belajar memaafkan teman sekamar yang dengkurnya seperti suara kapal pecah. Belajar merelakan sore tanpa kopi dan belajar memahami bahwa tidak semua rindu harus pulang.
Ikram juga berubah. Sekarang dia rajin bangun malam untuk tahajud. Katanya, rindu yang disampaikan dalam doa punya sayap.
Dan aku? Aku masih menulis surat-surat untuk langit.
Bukan karena aku ingin jawaban cepat. Tapi karena di pondok ini, aku belajar bahwa kadang, Tuhan menyampaikan jawaban lewat caranya sendiri: lewat sabar, lewat teman, lewat air wudu yang dinginnya menyentuh sampai hati.
Hasna Mutiara – TJI