
Pagi itu, sinar matahari mengintip malu-malu dari balik tirai jendela. Udara Toya terasa segar, dan di sela-sela kesunyian pagi, aku menarik napas panjang. Hari ini, tanggal 3—hari terakhir di kos. Ada semacam rasa kosong yang mengendap di dada, seperti lemari yang baru saja dikosongkan. Sebuah babak akan segera ditutup.
Sebelum berangkat, aku menyapu dan mengepel rumah Pak Edy. Katanya, “Kebersihan itu sebagian dari iman,” dan entah kenapa, kalimat itu menempel kuat di benakku hari ini. Pelan-pelan, aku bersihkan setiap sudut rumah. Ada rasa puas setiap kali debu terangkat. Siapa sangka, pekerjaan domestik yang terlihat remeh ini ternyata menyita energi juga.
Sesampainya di kamar kos, aku menatap dinding yang kini telanjang. Poster-poster yang dulu menemaniku belajar sudah tidak ada. Sudut kamar tampak asing. Namun, yang paling sunyi adalah bayanganku sendiri di cermin.
Aku tersenyum kecil, “Akhirnya ya, sampai juga di ujung jalan tempat ini.”
Ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Adit.
“sepatu mau dibawah atau dibuang tanya ku ke Adit melalui chat WA
“Iya ang …. Nnti diambil” balas Adit singkta
“sepatu tak taro di jemuran Tapi jangan kelamaan diambil, nanti dikira punya mantan penghuni tak terlihat.”
Pesannya kubalas dengan santai, dan ia merespons dengan emoji tertawa. Aku ikut tersenyum—setidaknya satu hal kecil sudah selesai.
Usai urusan di kos, aku menyempatkan diri ke Talun, dekat Jembatan Merah. Tempat potong bbrambut langgananku ada di sana. Sudah lama ingin potong rambut, dan potongan Sasak pendek tetap jadi andalan sejak 2023. Ada sesuatu yang menyenangkan dari kesederhanaan gaya yang konsisten.
Mas tukang cukur menyapaku hangat, “Eh, Mas Aan Saya lihat nikan pas kemarin… Lihat dari TikTok!”
Aku tertawa kaget. “Serius? Dari TikTok?”
“Iya. Biasanya sih dapet undangan atau minimal kabar lewat WA. Tapi ini FYP yang kasih kabar duluan.”
“Maklum, Mas. Jodohnya datang cepat, kabarnya ketinggalan di belakang,” candaku.
Tawa kami pecah bersama. Ia mulai merapikan rambutku, dan percakapan pun mengalir.
“Aku tuh dari dulu suka potongan ini. Simpel, ringan. Kayaknya karena aku juga orangnya nggak jauh-jauh dari hal-hal sederhana,” ujarku.
“Justru yang sederhana itu, yang susah dilupakan,” jawabnya sembari menyisir perlahan. “Termasuk potongan rambut.”
Aku mengangguk. Di antara bunyi gunting dan cermin yang merefleksikan bayanganku, aku merasa ringan. Bukan cuma karena rambut yang dipangkas, tapi juga karena beban hari itu ikut tersapu.
Sore menjelang, aku pulang ke Toya. Setelah beberes, aku rebahan sebentar. Tak lama, suara motor berhenti di depan rumah. Budi datang—sahabat seperjuangan dari masa kuliah. Kami dulu sama-sama anak Bidikmisi di IAIN Cirebon. Kini, meski dunia menarik kami ke arah yang berbeda, silaturahmi kami tetap utuh.
“Eh, makin kurus ya?” sapaku sambil membukakan pagar.
“Kurusan dompet, bukan badan,” jawabnya sambil tertawa lebar.
Kami duduk di teras, menikmati teh manis dan senja yang menggantung malas. Obrolan kami mengalir seperti biasa—tentang masa lalu, masa depan, dan segala hal di antaranya.
“Dulu ke kampus naik motor legend, sekarang motor keren. Tapi waktu yang nggak pernah cukup,” katanya.
Aku tersenyum. “Iya. Ternyata, mimpi datang satu-satu, nggak sekaligus.”
Menjelang magrib, aku mulai menyiram tanaman. Tapi sejujurnya, itu cuma alibi. Aku ingin mencuci motor. Budi menatapku dengan pandangan menyelidik.
“Mau nyiram tanaman atau nyuci motor, sih?”
“Nyuci motor, tapi biar kelihatan rajin nanem bunga,” jawabku sambil tertawa kecil.
“Udah sini, gue bantu. Sekalian cuci motorku juga.”
Dan seperti biasa, tanpa banyak basa-basi, Budi turun tangan. Kami mencuci motor bersama, air sabun bercampur tawa di pelataran rumah.
Malam itu, Budi memutuskan menginap. Kami ngobrol sampai larut, seperti dulu di kamar kos sempit dengan mie instan dan tugas yang menumpuk.
Sebelum tidur, Budi sempat berkata, “Hidup itu memang berat. Tapi jangan lupa, kita udah jauh dari titik awal. Kadang kita perlu lihat ke belakang buat sadar, ternyata kita udah naik tangga cukup tinggi.”
Aku mengangguk pelan. Kata-katanya sederhana, tapi menghunjam. Aku mengucap terima kasih—untuk hari ini, untuk persahabatan yang tak pudar, dan untuk semua hari-hari yang pernah kami perjuangkan.
Dan malam itu, dalam keheningan kamar Toya, aku belajar satu hal lagi: menjadi ibu rumah tangga itu tidak semudah kelihatannya. Pagi tadi aku menyapu, siangnya mencuci, sorenya mengepel dan bersih-bersih. Capeknya luar biasa, tapi hati terasa penuh.
Karena mungkin, di balik lelah yang senyap, ada bahagia yang diam-diam tumbuh.