Hidup adalah rangkaian pilihan. Setiap hari, tanpa sadar, kita dihadapkan pada berbagai keputusan—mulai dari hal kecil seperti cara berbicara dan bersikap, hingga keputusan besar yang menentukan arah kehidupan. Sebagian pilihan tampak menggiurkan dan menjanjikan keuntungan cepat, namun di baliknya tersimpan kegelisahan. Sebaliknya, ada pilihan yang terlihat sederhana dan sulit, tapi justru membawa ketenangan yang hakiki.
Dalam setiap persimpangan itulah, Rasulullah ﷺ memberikan pedoman abadi bagi umatnya agar tidak tersesat dalam kabut keraguan:
“Tinggalkanlah apa yang meragukanmu menuju kepada apa yang tidak meragukanmu, karena kejujuran itu ketenangan, sedangkan dusta itu keraguan.”
(HR. Tirmidzi: 2442)
Hadis yang singkat ini mengandung hikmah mendalam. Ia bukan sekadar ajakan untuk berhati-hati, tetapi juga panduan spiritual agar manusia senantiasa menjaga kebersihan hati dan ketenangan nurani.
Makna Hadis: Jalan Menuju Kejujuran dan Kedamaian
Imam An-Nawawi dalam Syarh Arba’in An-Nawawiyyah menempatkan hadis ini sebagai bagian dari fondasi akhlak Islam. Beliau menjelaskan bahwa seorang mukmin sejati hendaknya menjauhi segala perkara yang mengandung keraguan (syubhat), karena di balik keraguan biasanya ada potensi dosa.
Keraguan (syakk) dalam Islam bukan hanya rasa tidak yakin secara intelektual, tetapi juga kegelisahan hati yang menandakan sesuatu tidak beres. Maka, Rasulullah ﷺ menganjurkan kita untuk meninggalkan yang meragukan—baik dalam ucapan, tindakan, maupun niat.
Kejujuran (sidq) menjadi kunci dari ketenangan hati. Ketika seseorang berkata jujur, bertindak tulus, dan berpikir bersih, ia tidak akan dihantui rasa takut atau malu. Sebaliknya, kebohongan dan tipu daya, sekecil apa pun, akan menimbulkan resah batin, bahkan jika tidak ada orang lain yang mengetahuinya.
Rasulullah ﷺ juga bersabda dalam hadis lain:
“Dosa itu adalah apa yang membuat hatimu ragu dan engkau tidak suka jika orang lain mengetahuinya.”
(HR. Muslim: 2553)
Dengan kata lain, hati manusia yang bersih sejatinya memiliki kompas moral. Ia mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, asalkan tidak tertutup oleh hawa nafsu atau kepentingan duniawi.
Kejujuran Sebagai Sumber Ketenangan
Dalam Tafsir Al-Munir, Wahbah az-Zuhaili menjelaskan bahwa kejujuran adalah sumber ketentraman karena ia menegakkan integritas antara hati, ucapan, dan perbuatan. Orang yang jujur tidak perlu berpura-pura. Ia hidup apa adanya, tanpa beban untuk menutupi kebohongan yang lain.
Ketenangan sejati (thuma’ninah) tidak lahir dari kemewahan, tapi dari kebersihan hati. Banyak orang yang tampak sukses dan tersenyum di luar, namun gelisah di dalam karena hidupnya dibangun di atas kepalsuan.
Allah ﷻ berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan jadilah bersama orang-orang yang jujur.”
(QS. At-Taubah: 119)
Ayat ini menegaskan bahwa kejujuran bukan hanya sikap moral, tetapi jalan menuju kedekatan dengan Allah. Orang yang jujur tidak hanya dipercaya manusia, tetapi juga diridhai Tuhan.
Kisah Inspiratif: Ketenangan di Balik Kejujuran
Diriwayatkan dalam kitab Raudhatush Shalihin, ada kisah seorang pemuda di zaman Rasulullah ﷺ yang datang menghadap Nabi dengan tekad ingin bertaubat. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku sering melakukan banyak dosa, tapi aku ingin berhenti. Tolong beri aku nasihat yang paling singkat agar aku bisa istiqamah.”
Rasulullah ﷺ bersabda, “Jangan berdusta.”
Pemuda itu mengira nasihat itu sederhana. Namun ternyata, setiap kali ia hendak berbuat maksiat, ia teringat janji untuk tidak berbohong. Ia takut jika nanti Rasulullah bertanya dan ia harus menjawab dengan jujur. Maka, karena takut berbohong, ia pun meninggalkan semua dosanya.
Kisah ini menggambarkan bagaimana kejujuran dapat menjadi benteng dari dosa dan jalan menuju ketenangan hati.
Tanda-Tanda Hati yang Tenang
Ibnul Qayyim al-Jauziyyah dalam Madarijus Salikin menjelaskan bahwa hati yang tenang memiliki ciri-ciri tertentu, antara lain:
-
Berhati-hati dalam mengambil keputusan.
Orang yang tenang tidak tergesa-gesa. Ketika ragu, ia berhenti sejenak, merenung, dan meminta petunjuk Allah. -
Tidak tergoda oleh dunia yang fana.
Ia lebih memilih keberkahan dan kejujuran daripada keuntungan cepat yang menipu. -
Mudah menerima kebenaran.
Hatinya tidak keras. Ketika diingatkan, ia tidak membela diri, tetapi introspeksi dan memperbaiki diri. -
Cepat kembali kepada Allah.
Bila tergelincir, ia segera beristighfar dan memperbaiki diri tanpa menunda.
Inilah tanda-tanda hati yang bersih dari keraguan. Sebab, hati yang sehat adalah hati yang mengenal Allah dan berani berkata benar, meski itu sulit.
Meninggalkan yang Syubhat di Era Modern
Prinsip “tinggalkan yang meragukan” juga sangat relevan di masa kini. Dunia modern penuh dengan zona abu-abu: pekerjaan yang tidak jelas sumbernya, transaksi digital yang samar, hingga informasi yang belum pasti kebenarannya.
Dalam urusan bisnis, misalnya, jika seseorang ragu apakah suatu penghasilan halal atau tidak, maka sebaiknya ia tinggalkan. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya ada perkara syubhat (samar) yang tidak diketahui oleh banyak orang. Barang siapa menjauhi perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam konteks kehidupan sosial, prinsip ini juga berarti menjaga lisan dan jari. Di era media sosial, kita sering tergoda untuk membagikan informasi yang belum jelas sumbernya. Padahal, satu unggahan bisa memicu fitnah dan keresahan. Maka, jika hati kita ragu atas kebenaran suatu berita — sebaiknya tinggalkan.
Menumbuhkan Ketenangan Melalui Hati yang Bersih
Untuk mencapai ketenangan sejati, para ulama memberikan beberapa petunjuk praktis:
-
Perbanyak dzikir dan doa istikharah.
Dzikir menenangkan hati yang gundah, sementara istikharah membantu memilih jalan terbaik dalam kebimbangan. -
Perkuat ilmu agama.
Ilmu adalah cahaya. Dengan pengetahuan, kita dapat membedakan yang halal dan haram, yang meragukan dan yang menenangkan. -
Konsultasikan pada ulama atau orang saleh.
Jika hati masih bimbang, mintalah pandangan dari orang yang berilmu dan berakhlak. -
Biasakan kejujuran dalam hal kecil.
Karena hati yang terbiasa jujur akan mudah merasakan damai. Sebaliknya, kebohongan kecil akan menjadi benih bagi keraguan besar. -
Jaga kebersihan hati dari iri dan dengki.
Dua penyakit ini sering membuat seseorang sulit menemukan ketenangan, meski hidupnya tampak makmur.
Hidup memang penuh pilihan, tapi tidak semua pilihan membawa kedamaian. Ada pilihan yang tampak mudah tapi menjerat batin, ada pula yang sulit tapi menyelamatkan jiwa.
Rasulullah ﷺ mengajarkan, ketika hati mulai ragu, berhentilah sejenak. Dengarkan bisikan nurani, dan pilihlah yang menenangkan. Karena sesungguhnya, hati yang jujur selalu menemukan damai, sementara hati yang menipu diri akan terus dihantui resah.
Meninggalkan yang meragukan bukan berarti kehilangan, melainkan menyelamatkan diri dari kebohongan dan penyesalan. Sebab, apa pun yang dilakukan dengan kejujuran akan membawa keberkahan — di dunia maupun di akhirat.
Daftar Referensi:
-
Sunan At-Tirmidzi, hadis no. 2442 – Bab Zuhd.
-
Syarh Arba’in An-Nawawiyyah, Imam An-Nawawi, hadis ke-11.
-
Shahih Muslim, hadis no. 2553 – Bab Tentang Dosa dan Keraguan Hati.
-
Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, Darul Fikr, Beirut.
-
Tafsir Al-Munir, Wahbah az-Zuhaili, Juz 10.
-
Raudhatush Shalihin, Imam An-Nawawi, Bab Kejujuran.
-
Sunan Abi Dawud, Bab Tentang Wara’ dan Zuhud.
-
Muslim.or.id. (2023). Tinggalkan yang Meragukan, Pilih yang Menenangkan.
-
Ust. Badrusalam, Lc., MA. (Kajian Audio 2022). Kejujuran dan Ketenangan Hati dalam Islam.