Menguak Cengkeraman “The Gasoline Godfather” dan Jaringannya yang Menggurita
Di balik ruwetnya tata kelola minyak dan gas Indonesia, ada satu nama yang kembali mencuat dan mengguncang ruang publik: Mohamad Riza Chalid, sosok yang dalam berbagai laporan disebut sebagai “The Gasoline Godfather” atau “don” dalam lingkaran bisnis minyak nasional. Julukan itu bukan tanpa sebab. Selama bertahun-tahun, bayangannya disebut berada di balik berbagai keputusan strategis terkait impor BBM, pengelolaan minyak mentah, hingga permainan kuota yang berhubungan langsung dengan kantong negara.
Kini, ketika aparat penegak hukum menetapkannya sebagai tersangka dugaan korupsi tata kelola minyak mentah di PT Pertamina, keberadaannya justru sulit dilacak. Status buronan yang melekat padanya menjadi penanda betapa pelik dan kuatnya jejaring kekuasaan yang ia miliki. Seolah-olah hukum menjelma menjadi pagar yang tinggi, namun dengan pintu kecil yang hanya dapat dilewati oleh mereka yang berkawan erat dengan elite kekuasaan.
Pertanyaan pun menggelinding semakin deras:
sebesar apa relasi kuasa Riza Chalid? Seberapa kuat cengkeramannya?
Dan pertanyaan terpenting — siapa saja yang masuk dalam jaringannya?
Isu-isu ini kembali menguat setelah muncul pernyataan mengejutkan dari Kolonel (Purn) Sri Radjasa, seorang purnawirawan yang lama terlibat dalam advokasi pemberantasan mafia migas. Dalam sebuah forum diskusi, Sri Radjasa mengungkap bahwa Riza Chalid pernah menunjukkan kepadanya daftar nama anggota DPR yang diduga menerima suap. Sebuah pengakuan yang tak hanya menohok, tetapi juga membuka tabir tentang struktur kekuasaan yang bercokol dalam sektor energi nasional.
PENGAKUAN MENGEJUTKAN ITU: SEBERAPA DALAM LUBANGNYA?
Sri Radjasa mengisahkan bahwa dalam sebuah pertemuan beberapa tahun lalu, Riza Chalid dengan santai membuka daftar nama para legislator yang disebut telah menerima aliran dana dari bisnis migas. Daftar itu bukan sekadar catatan tanpa makna. Di dalamnya terdapat rincian yang mengejutkan: jumlah uang, waktu pemberian, hingga proyek atau kebijakan apa yang “dibeli” oleh uang tersebut.
Menurut Sri Radjasa, tindakan itu bukanlah bentuk pengakuan penuh penyesalan. Justru sebaliknya — ia merasa bahwa Riza Chalid ingin menunjukkan betapa kuat jaringannya, betapa luas lingkup kendalinya, dan betapa tak mudah aparat menyentuhnya.
“Dia ingin menunjukkan bahwa dia tidak bergerak sendirian. Dia seakan berkata, ‘Aku punya orang-orang ini. Kalau aku jatuh, mereka ikut jatuh.’” ujar Sri Radjasa.
Jika benar demikian, maka kasus mafia migas bukan hanya persoalan individu. Ia merupakan sindikat terorganisir yang menjulang hingga jantung parlemen dan ruang-ruang kekuasaan tertinggi.
RIZA CHALID: TOKOH KUNCI DALAM PETA BISNIS MIGAS
Selama lebih dari satu dekade, nama Riza Chalid sering disebut dalam berbagai laporan investigasi, meskipun jarang tersentuh hukum. Banyak kalangan menilai ia adalah penghubung utama antara kepentingan bisnis dan kekuatan politik.
Beberapa faktor yang kerap dikaitkan dengannya antara lain:
-
Penguasaan Jalur Impor BBM
Impor bahan bakar adalah bisnis bernilai ratusan triliun rupiah per tahun. Siapa mendapat kuota berapa, dan melalui perusahaan mana, adalah permainan yang penuh kepentingan tersembunyi. -
Kedekatan dengan Elite Politik dan Pejabat Negara
Berbagai laporan menyebutkan bahwa Riza memiliki akses kuat ke beberapa pejabat strategis dan anggota legislatif. Akses itulah yang membuat posisinya sulit digoyang. -
Kemampuan Mengatur Tender dan Kontrak Pengadaan
Di dunia migas, kontrak merupakan sumber keuntungan terbesar. Dugaan adanya “pengaturan” tender kerap dikaitkan dengan jaringan bisnis yang ia kelola. -
Operasi dalam Senyap
Ia bukan tipe pengusaha yang ingin tampil di media. Justru ketidakhadirannya di ruang publik menjadi alasan mengapa ia sulit dilacak.
Dengan pondasi pengaruh seperti itu, tidak mengherankan jika keberadaannya dianggap sebagai salah satu figur paling berpengaruh — sekaligus paling misterius — dalam sektor energi Indonesia.
MAFIA MIGAS: SISTEM YANG TERBENTUK BERTAHUN-TAHUN
Dalam berbagai episode diskusi publik, mafia migas digambarkan sebagai struktur yang tidak berdiri sendiri, melainkan sebagai jaringan yang saling menopang.
Jaringan itu biasanya melibatkan:
-
pengusaha besar pemilik modal,
-
anggota legislatif,
-
pejabat kementerian,
-
direksi BUMN,
-
kontraktor swasta,
-
serta perantara politik.
Mereka bergerak dalam pola yang hampir sama: mengatur kuota, memengaruhi harga, memenangkan tender, dan menyalurkan dana untuk memastikan semua pihak “patuh”.
Data yang dikemukakan Sri Radjasa semakin mempertegas bahwa sektor migas telah menjadi ladang basah bagi praktik suap dan gratifikasi yang tersusun rapi. Daftar nama anggota DPR yang ditunjukkan Riza Chalid, jika benar, menjadi bukti bahwa jalur pembuat kebijakan pun rentan ditarik masuk dalam lingkaran tersebut.
PERTANYAAN BESAR: MAMPUKAH HUKUM MENEMBUS TEMBOK INI?
Meski Riza Chalid kini berstatus buronan, banyak pengamat menilai proses hukum terhadap dirinya akan sangat sulit jika jejaring kekuasaan yang mendukungnya tidak dibongkar terlebih dahulu. Tanpa itu, kasus hanya akan berkutat pada individu, bukan pada sistem korupsi yang sesungguhnya.
Sri Radjasa bahkan menyebut bahwa mengusut mafia migas tanpa membongkar aktor politiknya bagaikan mengobati gejala tanpa menyentuh akar penyakit.
Pertanyaannya kini:
-
Apakah aparat berani membongkar semua pihak yang terlibat?
-
Apakah daftar nama yang disebut Sri Radjasa benar-benar akan masuk ke meja penyidik?
-
Mampukah negara melawan kekuatan yang terlanjur menggurita selama bertahun-tahun?
DI UJUNG TEROWONGAN: HARAPAN ATAU KEBUNTUAN?
Kasus Riza Chalid telah membuka pintu bagi publik untuk melihat lebih dalam sisi gelap tata kelola migas nasional. Namun pintu itu tidak akan berarti apa-apa jika penegak hukum hanya berhenti pada satu nama. Mafia migas, seperti yang diungkap banyak mantan pejabat, adalah sistem berlapis, bukan sosok tunggal.
Pernyataan Kolonel (Purn) Sri Radjasa seolah menjadi alarm keras bahwa apa yang selama ini dicurigai masyarakat bukanlah teori belaka. Ada jejaring kekuasaan yang bekerja dalam sunyi, mengendalikan aliran uang negara yang seharusnya untuk rakyat.
Jika negara benar-benar ingin melakukan reformasi besar-besaran dalam sektor energi, maka penyelidikan terhadap “The Gasoline Godfather” harus menjadi momentum untuk membongkar seluruh simpul jaringan: dari pengusaha, birokrat, hingga legislatif yang disebut menerima suap.
Dengan begitu, kasus ini bukan hanya akan mencatat sejarah sebagai penangkapan buronan migas, tetapi juga sebagai awal perubahan di sektor yang telah lama menjadi sarang kepentingan gelap.