Seputarcirebon, Pernyataan ambisius Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang menargetkan bisa mengusung calon gubernur sendiri serta lolos ke parlemen pada Pemilu 2029 kembali memantik perhatian publik. Kali ini, kritik datang dari pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia. Menurut Alfath, optimisme PSI dan ketua umumnya, Kaesang Pangarep, tidak cukup berlandaskan realitas politik yang ada saat ini. Ia menilai bahwa langkah-langkah strategis PSI masih jauh dari kesiapan untuk mencapai target besar tersebut.
Dalam pandangannya, PSI saat ini tengah berada pada fase politik yang sulit. Meski beberapa waktu terakhir tampil percaya diri dengan narasi pembaruan, energi muda, dan positioning sebagai partai progresif, Alfath menyebut bahwa PSI belum mampu membaca peta kekuatan politik nasional secara matang. Ambisi besar yang mereka lontarkan dinilai lebih sebagai bentuk optimisme internal ketimbang refleksi objektif atas situasi politik nasional yang semakin kompetitif.
Stagnasi Elektoral PSI Sejak Pemilu 2019 dan 2024
Salah satu poin krusial yang disorot Alfath adalah stagnasi suara PSI dalam dua pemilu terakhir. Pada Pemilu 2019, PSI gagal menembus ambang batas parlemen dengan perolehan suara di kisaran 1,8 persen. Alih-alih mengalami kenaikan signifikan, pada Pemilu 2024 PSI kembali memperoleh suara sekitar dua persen—angka yang relatif tidak bergerak meskipun elektabilitas Presiden Joko Widodo saat itu berada pada posisi sangat dominan, dan PSI secara terbuka memperoleh dukungan dari lingkaran dekat kekuasaan.
Stagnasi ini, menurut Alfath, menunjukkan adanya persoalan mendasar dalam struktur, strategi kampanye, dan kemampuan PSI menerjemahkan dukungan figur politik menjadi dukungan elektoral nyata. Meski Jokowi memberi dukungan politik dan moral yang besar pada PSI, hal itu tidak berbanding lurus dengan peningkatan suara di tingkat nasional. “Pengalaman Pemilu 2024 memberikan pelajaran bahwa popularitas figur, bahkan seorang presiden sekalipun, tidak otomatis dapat dikonversi menjadi suara partai,” ujar Alfath.
Di sisi lain, PSI dianggap masih belum berhasil memantapkan basis konstituennya. Minimnya akar rumput, terbatasnya kaderisasi, dan citra sebagai partai perkotaan yang elit membuat mereka sulit menembus kelompok pemilih tradisional yang jumlahnya masih dominan dalam politik Indonesia. Situasi ini membuat perjuangan PSI menuju parlemen bakal semakin berat pada 2029 mendatang.
Ketergantungan pada Figur Jokowi Dinilai Jadi Beban Baru
Kritik lain yang disampaikan Alfath adalah ketergantungan PSI terhadap sosok Jokowi. Selama beberapa tahun terakhir, PSI memang dikenal sebagai partai yang sangat dekat dengan Presiden Joko Widodo. Hubungan itu bahkan semakin menonjol saat Kaesang Pangarep—putra bungsu Jokowi—diangkat sebagai ketua umum PSI pada 2023. Keputusan tersebut awalnya dianggap sebagai langkah strategis untuk mendongkrak elektabilitas partai melalui koneksi langsung dengan keluarga presiden.
Namun menurut Alfath, strategi tersebut kini justru berubah menjadi beban politik. Popularitas Jokowi mengalami penurunan pasca Pilpres 2024 akibat berbagai kontroversi yang menyeret namanya dan keluarganya, termasuk isu ijazah, dinamika politik menjelang pemilu, serta serangan politik dari berbagai kelompok yang mempertanyakan rekam jejak dan kebijakan pemerintahannya. Penurunan ini berdampak langsung pada persepsi publik terhadap PSI.
“Ketika figur yang menjadi sandaran utama mengalami erosi kepercayaan publik, secara otomatis partai yang menempel kuat pada figur tersebut juga terkena imbas,” jelas Alfath. PSI, menurutnya, tidak memiliki identitas politik yang cukup kuat untuk berdiri independen dari popularitas Jokowi. Hal ini membuat mereka rentan kehilangan relevansi dalam peta politik nasional.
Kaesang Pangarep Dinilai Belum Punya Kapasitas Organisasi Mumpuni
Meski dikenal sebagai figur muda, energik, dan memiliki daya tarik media, Kaesang Pangarep dinilai belum memiliki kapasitas politik yang memadai untuk membawa PSI naik kelas. Alfath mengatakan bahwa Kaesang, yang baru terjun ke dunia politik beberapa tahun terakhir, belum menunjukkan kemampuan teknokratis, kepemimpinan organisasi, maupun pengalaman lapangan yang diperlukan untuk membangun partai secara struktur dan ideologi.
Kaesang, menurutnya, masih lebih sering tampil sebagai tokoh komunikator daripada organisator. Gaya kampanyenya yang memadukan humor, konten media sosial, dan pendekatan anak muda memang memberi warna baru, tetapi tidak otomatis menambah kedalaman ideologis dan kapasitas internal PSI. Dalam konteks politik nasional yang semakin kompleks, Alfath menilai bahwa kekuatan partai tidak bisa hanya bergantung pada kemampuan komunikasi publik.
“Menjadi ketua umum partai tidak cukup hanya bermodal popularitas. Dibutuhkan pemahaman mendalam tentang dinamika kaderisasi, basis massa, strategi elektoral, dan kemampuan memimpin struktur organisasi hingga level daerah. Hal ini belum sepenuhnya terlihat pada kepemimpinan Kaesang,” ungkap Alfath.
Krisis Identitas PSI dan Potensi Disorientasi Politik
Lebih jauh, Alfath menilai PSI sedang mengalami disorientasi identitas. Pada awal kemunculannya, PSI dikenal sebagai partai anak muda yang progresif, antikorupsi, serta mengusung agenda transparansi dan pluralisme. Namun dalam beberapa tahun terakhir, arah perjuangan PSI dianggap semakin kabur—terutama setelah kedekatannya dengan pemerintahan Jokowi membuat mereka sulit mempertahankan posisi sebagai kekuatan kritis.
Dukungan terbuka PSI terhadap beberapa kebijakan pemerintah yang kontroversial membuat sebagian pemilih awal mereka merasa kecewa. Basis pendukung PSI yang dulu didominasi kaum urban, intelektual muda, dan kelompok masyarakat yang pro-reformasi kini dipandang mulai menjauh. “PSI kehilangan identitas awalnya. Mereka tidak lagi tampil sebagai partai alternatif, melainkan justru terlihat seperti perpanjangan tangan penguasa,” kata Alfath.
Krisis identitas inilah yang membuat Alfath meragukan kemampuan PSI untuk bangkit dan membangun kembali kepercayaan publik menjelang Pemilu 2029. Tanpa reposisi ideologi yang jelas, sulit bagi PSI untuk membedakan diri dari partai-partai lain.
Target Pemilu 2029 Dinilai sebagai “Mimpi yang Diulang”
Dengan mempertimbangkan berbagai faktor—mulai dari stagnasi suara, ketergantungan pada figur Jokowi, kapasitas kepemimpinan Kaesang, hingga krisis identitas partai—Alfath menilai target PSI pada Pemilu 2029 kemungkinan besar hanya akan menjadi “mimpi yang berulang.” Ia mengatakan bahwa sikap optimis memang penting, tetapi optimisme harus disertai analisis yang matang dan strategi yang konkret.
Tanpa perubahan signifikan, Alfath memprediksi PSI akan kembali kesulitan mencapai ambang batas parlemen. “Mereka membutuhkan restrukturisasi internal, penguatan ideologi, kaderisasi yang lebih serius, dan kerja politik yang nyata di akar rumput. Jika hal itu tidak dilakukan sekarang, peluang mereka pada 2029 akan sangat kecil,” tegasnya.
Butuh Strategi Baru untuk Bertahan
Pada akhirnya, Alfath menilai bahwa PSI masih punya ruang untuk berkembang, tetapi diperlukan perubahan besar dalam cara mereka berpolitik. Strategi komunikasi berbasis media sosial terbukti tidak cukup untuk memenangkan pemilu di Indonesia. Partai harus membangun jaringan hingga tingkat desa, memperkuat narasi ideologis, dan menghadirkan program konkret untuk menjawab kebutuhan masyarakat.
Tanpa langkah itu, PSI berisiko terjebak dalam lingkaran optimisme internal yang tidak pernah berbuah pencapaian signifikan.