
Dia melangkah pagi dengan sunyi menempel di sepatunya,
embun menyembunyikan letih yang akan ia kumpulkan sepanjang hari.
Ia berjalan seperti hujan yang tak pernah menuntut terima kasih,
hanya ingin bumi tetap hijau meski tubuhnya kering.
Ketika malam merapat, ia pulang membawa cahaya yang patah-patah,
lelahnya menjelma bayang di sudut matanya.
Anak-anaknya bermimpi tanpa tahu badai apa yang ia lalui,
sementara ayah tersenyum lirih—seperti bulan yang tak pernah menagih pada bumi.