
Seputar Cirebon – Hati manusia kerap digambarkan oleh para ulama sebagai cermin. Bila cermin itu jernih, ia mampu memantulkan cahaya dengan sempurna. Sebaliknya, bila penuh goresan, debu, dan noda duniawi, pantulannya buram, bahkan nyaris hilang. Gambaran inilah yang disampaikan ulama sufi besar, Ibnu ‘Athaillah al-Iskandari dalam karya monumental al-Hikam al-‘Atha’iyyah.
Dalam salah satu hikmah terkenal, beliau menulis penuh pertanyaan retoris:
“Bagaimana hati dapat bersinar, sementara gambar-gambar duniawi tetap terlukis dalam cermin hati itu? Atau bagaimana hati dapat berangkat menuju Allah, karena masih terbelenggu oleh syahwatnya? Bagaimana mungkin seseorang akan antusias menghadap Allah, sementara hatinya belum suci dari junub kelalaiannya? Dan bagaimana seorang hamba bisa memahami kedalaman rahasia, sementara ia belum bertaubat dari kesalahannya?” (al-Hikam, Hikmah ke-13).
Pertanyaan-pertanyaan itu, meski ditulis berabad-abad lalu, seakan mengetuk pintu hati pembaca masa kini. Ia bukan sekadar kalimat puitis, melainkan seruan agar manusia bercermin pada dirinya sendiri: masihkah hati ini jernih atau justru dipenuhi gambar syahwat dan ambisi dunia?
Menjernihkan Cermin Hati
Para ulama memberi tafsir mendalam terhadap ungkapan “gambar-gambar duniawi” yang disebut Ibnu ‘Athaillah. Bagi mereka, itu adalah simbol dari segala hal yang membuat manusia lupa kepada Allah—mulai dari harta, jabatan, hingga kesenangan yang melalaikan.
Syekh Ibn ‘Ajibah, seorang sufi dan mufassir asal Maghrib, dalam karyanya Iqaz al-Himam fi Syarh al-Hikam, menjelaskan:
“Hati tidak akan bercahaya kecuali dengan dua hal: meninggalkan keterikatan pada dunia dan memperbanyak dzikir kepada Allah.”
Penjelasan ini menegaskan bahwa kejernihan hati bukan perkara instan. Ia membutuhkan pelepasan diri dari jerat dunia sekaligus pengisian jiwa dengan dzikir. Hanya dengan itu, cahaya hidayah bisa masuk dan bersemayam di dalam hati.
Di sisi lain, Syekh Ahmad Zarruq, seorang ulama besar dari Maroko, menambahkan penekanan lain dalam Syarh al-Hikam:
“Taubat adalah pintu utama untuk membersihkan hati dari kegelapan dosa. Tanpa taubat, hati akan tetap gelap, dan seseorang tidak akan pernah bisa menyingkap rahasia-rahasia Ilahiah.”
Dengan kata lain, upaya menyingkirkan debu duniawi dari hati tak akan berhasil jika manusia enggan bertobat. Taubat menjadi langkah awal dan pondasi utama.
Jalan Menuju Cahaya
Cahaya Ilahi tidak diberikan secara sembarangan. Ia dianugerahkan bagi mereka yang sungguh-sungguh membersihkan diri. Dalam tradisi tasawuf, jalan menuju cahaya itu disebut dengan tazkiyatun nafs—penyucian jiwa.
Prosesnya panjang dan menantang. Syahwat yang mendominasi harus ditundukkan dengan mujahadah (kesungguhan melawan hawa nafsu). Kelalaian yang menumpuk mesti dicuci dengan air taubat. Dan hati yang keruh perlu terus dipoles dengan dzikir hingga ia kembali jernih.
Jika tidak, manusia hanya akan berjalan dalam kegelapan. Ia mungkin berlari, bahkan berputar-putar dengan semangat, namun arah yang dituju bukanlah Allah, melainkan lingkaran dunia yang fana.
Mengapa Hati Bisa Gelap?
Pertanyaan ini sering muncul. Mengapa hati seseorang, yang pada dasarnya fitrah, bisa berubah buram?
Para ulama menyebut beberapa sebab:
-
Keterikatan berlebihan pada dunia.
Harta, jabatan, popularitas, dan kesenangan jika dijadikan tujuan hidup, akan menutupi hati dari mengingat Allah. -
Dosa yang terus menumpuk.
Setiap dosa meninggalkan noda. Jika tidak dibersihkan dengan taubat, noda itu semakin menebal hingga menutupi cahaya kebenaran. -
Lalai dari dzikir.
Hati ibarat lampu yang butuh bahan bakar. Tanpa dzikir, lampu itu meredup bahkan padam. -
Syahwat yang tak terkendali.
Nafsu yang dibiarkan liar akan menyeret hati pada keburukan dan menjauhkan dari Allah.
Cermin Diri di Era Modern
Di tengah hiruk-pikuk zaman modern, pesan Ibnu ‘Athaillah terasa semakin relevan. Media sosial, gawai, hiburan digital—semua itu bagaikan “gambar duniawi” yang dengan mudah terlukis di hati.
Jika tidak berhati-hati, hati kita bisa penuh coretan notifikasi, obsesi akan popularitas, atau kecanduan akan kesenangan sesaat.
Di sinilah urgensi kembali kepada dzikir, ibadah, dan taubat. Sebab, tanpa itu, manusia modern berisiko kehilangan sesuatu yang jauh lebih berharga daripada sekadar waktu atau harta: kejernihan hati.
Praktik Nyata Membersihkan Hati
Para ulama memberi jalan praktis agar hati kembali bersih:
-
Dzikir rutin. Mulut yang terus mengingat Allah akan menghidupkan hati.
-
Shalat khusyuk. Shalat yang dilakukan dengan penuh kesadaran adalah puncak komunikasi spiritual.
-
Taubat setiap hari. Tidak ada manusia yang bebas dari dosa, tapi Allah selalu membuka pintu kembali.
-
Sedekah dan amal sosial. Menolong sesama membersihkan hati dari sifat kikir dan keterikatan pada dunia.
-
Mujahadah. Melatih diri melawan hawa nafsu dengan sabar, puasa sunnah, dan pengendalian diri.
Menutup dengan Harapan
Ibnu ‘Athaillah menutup banyak hikmahnya dengan optimisme. Meski manusia sering tergelincir, pintu rahmat Allah tidak pernah tertutup. Bahkan, dalam setiap detak taubat, cahaya baru selalu menanti.
Hati manusia memang ibarat cermin. Ia bisa keruh, bisa pula jernih. Tugas kita adalah terus membersihkannya, sebab hanya hati yang jernihlah yang mampu memantulkan cahaya Ilahi dengan indah.
✍️ Oleh Masudi, S.Ag
Referensi
-
Ibn ‘Athaillah al-Iskandari. al-Hikam al-‘Atha’iyyah.
-
Ibn ‘Ajibah, Ahmad. Iqaz al-Himam fi Syarh al-Hikam. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002.
-
Zarruq, Ahmad bin Ahmad. Syarh al-Hikam al-‘Atha’iyyah. Kairo: Maktabah al-Taufiqiyyah, 1993.