
Syekh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandari, seorang ulama sufi besar dari Mesir, dalam kitab Al-Hikam menuliskan sebuah ungkapan yang sarat makna:
“Bagaimana mungkin dapat dibayangkan, kalau sesuatu dapat menjadi hijab atas-Nya, padahal Dia-lah yang menampakkan segala sesuatu?” (Al-Hikam, hikmah ke-2)
Ungkapan ini menggugah hati kita untuk merenungkan kembali hakikat hubungan kita dengan Allah. Seringkali manusia merasa bahwa dunia dengan segala kesibukan dan hiruk-pikuknya adalah penghalang untuk mendekat kepada Allah. Seolah pekerjaan, harta, keluarga, bahkan cobaan hidup menjadi tabir yang menutup jalan kita kepada-Nya.
Namun sejatinya, dunia tidak pernah menjadi hijab. Justru setiap hal yang ada di dunia ini merupakan tanda (ayat) dari kekuasaan-Nya. Langit yang luas adalah bukti kebesaran-Nya, rezeki yang kita terima adalah wujud kasih sayang-Nya, dan bahkan ujian yang menghampiri adalah bentuk perhatian-Nya agar kita kembali kepada-Nya.
Syekh Ibnu ‘Athaillah ingin menekankan bahwa Allah tidak pernah tertutupi oleh ciptaan-Nya. Yang menjadi hijab hanyalah kelalaian hati manusia itu sendiri. Tatkala hati lalai dari mengingat Allah, dunia yang semestinya menjadi jalan untuk mengenal-Nya justru berubah menjadi penghalang. Sebaliknya, ketika hati bersih dan penuh dzikir, maka setiap detik kehidupan, setiap peristiwa, dan setiap makhluk akan menjadi cermin yang memantulkan cahaya Sang Pencipta.
Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan bahwa seluruh ciptaan adalah tanda-tanda kebesaran-Nya:
“Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imran: 190).
Ayat ini sejalan dengan pesan Al-Hikam: dunia bukanlah penghalang, melainkan ayat yang seharusnya menuntun manusia menuju Allah. Yang menjadi penghalang adalah hati yang lalai, hati yang tidak lagi berdzikir dan bersyukur.
Oleh karena itu, yang perlu dibersihkan adalah hati. Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menegaskan bahwa hati bagaikan cermin; bila berkarat karena dosa dan kelalaian, ia tidak mampu lagi memantulkan cahaya kebenaran. Membersihkan hati dengan dzikir, syukur, dan muhasabah adalah jalan agar dunia kembali menjadi sarana mengenal Allah, bukan hijab dari-Nya.
Renungan ini mengajarkan bahwa dunia tidak pernah benar-benar menjauhkan kita dari Allah. Justru dunia adalah jembatan untuk melihat tanda-tanda-Nya. Yang menjauhkan hanyalah hati yang lalai. Maka, rawatlah hati dengan dzikir, syukur, dan rasa tawakal. Dengan hati yang terjaga, setiap peristiwa dalam hidup akan menjadi jalan menuju Allah, tanpa ada lagi hijab yang menutup pandangan kita kepada-Nya.
Referensi:
- Ibnu ‘Athaillah As-Sakandari. Al-Hikam al-‘Ata’iyyah. Kairo: Dar al-Minhaj, tanpa tahun.
- Al-Ghazali, Abu Hamid. Ihya’ Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005.
- Al-Qur’an al-Karim, QS. Ali Imran: 190.
- Ibn ‘Ajibah, Ahmad bin Muhammad. Iqazh al-Himam fi Sharh al-Hikam. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008.