Di tengah hiruk-pikuk kehidupan, manusia sering mengukur kualitas hidup dari pencapaian, pujian, dan kemudahan yang ia rasakan. Kita merasa hebat ketika rencana berjalan mulus, merasa mampu ketika masalah terselesaikan, dan merasa kuat ketika banyak orang memuji. Namun, ternyata bukan itu yang disebut sebagai waktu terbaik dalam hidup.
Ada satu momen yang justru jauh lebih berharga:
ketika seorang hamba menyadari betapa lemahnya dirinya dan betapa total ketergantungannya kepada Allah.
Pada saat itu, tabir kesombongan runtuh.
Upaya duniawi terlihat kecil.
Dan hati menjadi kembali jernih.
Kesadaran Paling Mulia: Ketergantungan kepada Allah
Syekh Ibnu Athaillah as-Sakandari—seorang ulama besar sufi abad ke-13—menegaskan dalam kitabnya al-Hikam sebuah kalimat yang sangat dalam:
“Sebaik-baik waktumu adalah saat kau menyadari betapa tergantungnya dirimu kepada Allah dan betapa hinanya dirimu.”
Ungkapan ini bukan untuk merendahkan manusia, tetapi untuk mengingatkan bahwa hakikat kekuatan bukan pada diri kita, melainkan pada taufik yang Allah berikan.
Ketika seseorang menyadari bahwa:
-
langkahnya terjadi karena izin Allah,
-
kesuksesannya adalah karunia, bukan murni usaha,
-
kegelisahannya hilang karena pertolongan-Nya,
-
dan setiap helaan napas adalah pemberian,
maka pada saat itu ia kembali kepada jati dirinya: seorang hamba.
Mengapa Kesadaran Ini Disebut Waktu Terbaik?
-
Karena hati menjadi lebih jernih
Kebergantungan kepada Allah meluruhkan debu dunia dari dalam jiwa. Hati yang tadinya keruh oleh ambisi dan kecemasan menjadi lebih tenang. -
Karena kesombongan runtuh
Kesuksesan tidak lagi dianggap sebagai prestasi pribadi semata. Semuanya dinisbatkan kepada Allah sebagai pemberi taufik. -
Karena doa menjadi lebih tulus
Seorang hamba yang merasa lemah akan memohon dengan sungguh-sungguh. Doanya lahir dari kerendahan hati, bukan formalitas. -
Karena kita kembali ke posisi terbaik: seorang hamba
Manusia tidak diciptakan untuk sombong, tetapi untuk mengabdi. Kesadaran sebagai hamba membuat seseorang lebih ringan menjalani hidup dan lebih dekat kepada Penciptanya.
Kembali kepada Hakikat Hamba
Pada akhirnya, manusia tidak berjalan dengan kekuatannya.
Bukan kecerdasan, bukan kedudukan, bukan jaringan, bukan harta.
Semua menjadi kecil tanpa taufik Allah.
Dan semua menjadi mungkin jika Allah memudahkan.
Maka benar apa yang dinasihatkan para ulama:
Waktu terbaik dalam hidup bukan saat kita merasa kuat, tetapi saat kita sadar bahwa kita lemah dan Allah-lah yang menguatkan.
Sumber Referensi
Berikut rujukan yang mendukung artikel di atas:
1. Kitab Klasik
-
Ibnu Athaillah as-Sakandari, al-Ḥikam al-‘Aṭā’iyyah (Hikmah ke-11):
“Aḥsan al-awqāt waqtun tashhad fīhi wujūda faqrika wa iftiqārika ilallāh.”
(“Sebaik-baik waktumu adalah saat engkau menyadari kefakiran dan ketergantunganmu kepada Allah.”)
2. Syarah / Penjelasan Kitab al-Hikam
-
Ibn ‘Ajibah, Iqāẓ al-Himam fī Sharh al-Ḥikam.
Menjelaskan bahwa waktu terbaik adalah ketika seorang hamba mencapai syuhūd al-faqr, kesadaran total bahwa dirinya fakir di hadapan Allah. -
Ahmad Zarrūq, Sharh al-Ḥikam.
Menegaskan bahwa hakikat ibadah adalah menyadari kelemahan diri dan kebutuhan mutlak kepada Allah.
3. Literatur Tasawuf dan Akhlak
-
Al-Qusyairi, al-Risālah al-Qusyairiyyah.
Membahas konsep faqr (kefakiran kepada Allah) sebagai maqam tinggi dalam perjalanan ruhani. -
Imam al-Ghazali, Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn, Kitab Tawakkul.
Menguraikan makna ketergantungan sejati kepada Allah dan kebersihan hati dari kesombongan.