Seputar Cirebon, Presiden Prabowo Subianto kembali menyoroti masalah klasik yang dinilainya menjadi akar persoalan ketertinggalan Indonesia dalam mengelola kekayaan alamnya sendiri. Dalam sebuah acara yang dihadiri Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, pada Senin (18/11), Prabowo menyampaikan kritik blak-blakan mengenai kualitas kepemimpinan bangsa dari masa ke masa. Ia menilai bahwa kekayaan Nusantara yang luar biasa besar selama ini justru lebih banyak dinikmati pihak asing karena ketidakmampuan para pemimpin Indonesia menjaga dan mengelolanya.
Pernyataan itu disampaikan dalam forum resmi yang berlangsung hangat namun penuh muatan refleksi. Ketika Prabowo mengungkapkan kritiknya, Dedi Mulyadi yang awalnya mendengarkan dengan posisi menunduk, tampak tersentak dan langsung mengangkat kepala. Gestur itu menjadi perhatian sejumlah tamu undangan, seolah mengisyaratkan bahwa kalimat Prabowo menyentuh sisi sensitif dalam perbincangan mengenai kualitas kepemimpinan nasional.
Dalam pidatonya, Prabowo membuka dengan gambaran geografis Indonesia yang menurutnya tidak banyak disadari sebagai keunggulan strategis. Indonesia, kata Prabowo, bukan hanya negara kepulauan terbesar di dunia, tetapi juga salah satu kawasan dengan kekayaan alam paling melimpah di muka bumi. Laut, hutan, tambang, energi, dan biodiversitas adalah karunia besar yang seharusnya menempatkan Indonesia sebagai kekuatan ekonomi dunia. Namun potensi itu, menurutnya, belum terolah maksimal karena kelemahan internal bangsa sendiri.
“Negara kita, Nusantara kita ini, negara gugusan kepulauan terbesar di dunia, ternyata adalah gugusan yang sangat kaya,” ujar Prabowo di hadapan para pejabat dan tamu undangan.
Namun setelah memuji kekayaan alam Indonesia, ia langsung masuk pada kritik paling tajam.
“Tetapi kita harus akui, karena kita sebagai bangsa, terutama para pemimpin-pemimpinnya, kurang pandai untuk menjaga dan mengelola kekayaan tersebut, maka ratusan tahun kekayaan kita diambil oleh bangsa lain.”
Ucapan tersebut menjadi sorotan karena keluar dari seorang presiden yang selama ini dikenal berhati-hati dalam menyampaikan kritik terhadap kepemimpinan nasional. Namun kali ini, Prabowo terlihat menekankan pentingnya evaluasi diri, terutama bagi para pemimpin yang sedang maupun akan memegang tanggung jawab strategis.
Pidato Prabowo menggambarkan narasi panjang tentang bagaimana Nusantara—sejak era kolonial hingga masa modern—sering menjadi incaran kekuatan luar karena kekayaan alamnya yang luar biasa. Ia menyinggung bahwa Indonesia terus berada dalam siklus ketergantungan pada perusahaan, modal, dan kepentingan asing.
Prabowo menegaskan bahwa fenomena tersebut bukan semata akibat tekanan negara lain, melainkan juga disebabkan kurangnya kemampuan pemimpin lokal mengelola aset bangsa. Ketidakpandaian yang ia maksud bukan hanya soal akademik atau intelektual, tetapi lebih pada kurangnya strategi, keberanian, dan ketegasan dalam menjaga kepentingan nasional.
Ia kemudian menekankan bahwa bangsa Indonesia harus mampu bangkit dengan menyiapkan generasi penerus yang tidak hanya pintar secara akademik, tetapi juga kuat secara karakter dan integritas.
Momen ketika Prabowo menyampaikan pernyataan keras tentang pemimpin kurang pandai itu menjadi perhatian. Dedi Mulyadi, yang sedari awal duduk dengan posisi menunduk sambil memperhatikan jalannya pidato, langsung menunjukkan reaksi ketika kalimat itu dilontarkan. Ia mengangkat kepala, memperhatikan Prabowo secara langsung, seolah ingin memastikan konteks yang dimaksud.
Sikap spontan ini diinterpretasikan sebagian hadirin sebagai bentuk kepekaan Dedi terhadap isu tersebut. Sebagai Gubernur Jawa Barat, kritik mengenai kualitas kepemimpinan tentu berkaitan erat dengan tanggung jawab yang ia emban.
Meski begitu, Dedi tetap terlihat tenang dan sesekali mengangguk, menandakan bahwa ia memahami arah kritik Prabowo sebagai ajakan untuk berbenah, bukan untuk menyalahkan individu tertentu.
Prabowo dalam pidatonya juga menyinggung sejarah panjang Indonesia yang selalu menjadi sasaran eksploitasi pihak asing. Menurutnya, sejak rempah-rempah, emas, batu bara, hingga sumber daya laut modern, Indonesia sering terjebak dalam posisi sebagai pemasok bahan mentah tanpa memiliki daya tawar yang cukup tinggi.
Ia menilai bahwa selama ratusan tahun ini, bangsa Indonesia belum sepenuhnya mampu mengubah struktur pengelolaan ekonomi menuju model yang memberi keuntungan maksimal bagi rakyatnya sendiri. Dominasi asing dalam pengelolaan sumber daya, menurutnya, adalah bukti nyata dari kegagalan yang harus diatasi oleh generasi sekarang.
Prabowo menegaskan bahwa negara harus mampu berdiri tegak, mengelola asetnya sendiri, dan tidak mudah kalah oleh kepentingan luar.
Di bagian akhir pidatonya, Prabowo mengajak para pemimpin daerah, tokoh masyarakat, dan generasi muda untuk tidak mengulang kesalahan masa lalu. Ia menekankan pentingnya kebijakan yang berpihak pada rakyat, kemandirian ekonomi, serta keberanian mengambil keputusan strategis.
Menurutnya, Indonesia tidak boleh lagi menjadi negara pasif yang membiarkan kekayaan alam dikelola oleh pihak luar tanpa manfaat optimal bagi rakyat. Pemimpin yang cerdas, jujur, dan berkarakter kuat harus menjadi prioritas dalam setiap proses pembangunan.
Prabowo juga menyampaikan bahwa bangsa ini memiliki semua potensi untuk bangkit. Yang dibutuhkan adalah disiplin, integritas, dan kecerdasan dalam mengelola kekayaan.
Pernyataan Prabowo tentang pemimpin yang “kurang pandai” menjadi salah satu kritik paling lugas yang ia sampaikan dalam beberapa bulan terakhir. Ungkapan tersebut bukan hanya membahas masa lalu, tetapi juga menjadi peringatan agar kesalahan yang sama tidak terus berulang.
Pidato tersebut menggugah banyak pihak untuk kembali mengevaluasi kualitas kepemimpinan di berbagai level. Di satu sisi, kritik itu terasa keras. Namun di sisi lain, banyak yang menilai pernyataan Prabowo sebagai bentuk kejujuran seorang presiden yang ingin bangsanya benar-benar maju.
Dengan kekayaan alam yang begitu besar dan posisi strategis di antara negara-negara dunia, Indonesia seharusnya mampu berdiri sebagai kekuatan ekonomi besar. Namun itu semua, seperti disampaikan Prabowo, hanya bisa terjadi jika pemimpin bangsa mampu berpikir strategis, bertindak cerdas, dan mengutamakan kepentingan rakyat.
Pidato yang berlangsung sekitar belasan menit itu menjadi salah satu momen penting dalam refleksi nasional mengenai arah bangsa ke depan. Dan bagi banyak pihak, kritik tersebut bukan untuk diperdebatkan, tetapi untuk dijadikan bahan renungan: sudahkah pemimpin bangsa ini benar-benar pandai mengelola karunia yang diberikan Tuhan kepada Nusantara?