Seputar Cirebon, Ada yang berubah dari wajah organisasi relawan Projo, kelompok yang selama ini dikenal sebagai barisan pendukung paling setia Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi).
Isyarat perubahan itu tidak datang dalam bentuk pernyataan tegas, melainkan dari sikap, simbol, dan bahasa tubuh organisasi yang kini tampak mulai bergeser dari bayang-bayang sang presiden.
Selama bertahun-tahun, nama Projo lekat di telinga publik sebagai singkatan dari “Pro Jokowi”. Sebuah identitas yang kuat melekat sejak masa kampanye Pilpres 2014 hingga periode kedua Jokowi menjabat. Namun, kini Ketua Umum Projo, Budi Arie Setiadi, menegaskan bahwa pemahaman itu tidak lagi relevan.
Menurutnya, kata Projo tidak berasal dari akronim, melainkan dari bahasa Sanskerta dan Jawa Kawi yang berarti “rakyat” atau “orang kebanyakan”.
“Sejak awal, makna Projo adalah rakyat. Jadi bukan semata-mata singkatan dari Pro Jokowi,” kata Budi Arie dalam sebuah kesempatan.
“Kami ingin menegaskan bahwa Projo adalah organisasi relawan yang berpihak kepada kepentingan rakyat, bukan pada figur individu.”
Pernyataan itu tentu saja mengundang banyak tafsir. Apalagi di tengah situasi politik nasional yang mulai memanas menjelang kontestasi politik berikutnya.
Selama hampir satu dekade, Projo dikenal sebagai salah satu poros kekuatan relawan Jokowi yang paling loyal dan militan. Mereka terlibat aktif dalam berbagai kegiatan sosial, kampanye, hingga advokasi kebijakan pemerintah.
Namun, kini tanda-tanda perubahan itu semakin jelas terlihat. Logo Projo yang dulu menampilkan wajah Jokowi kini dihapus.
Desain baru yang diperkenalkan menampilkan simbol yang lebih netral — tanpa unsur personalitas Jokowi di dalamnya.
Budi Arie menyebut, perubahan itu bukan sekadar penyegaran visual, melainkan langkah transformasi organisasi.
“Perubahan logo adalah bagian dari proses kami untuk menegaskan bahwa Projo tidak mengultuskan individu. Kami ingin berdiri sebagai gerakan rakyat yang mandiri,” ujarnya.
Langkah ini membuat publik mulai bertanya-tanya: apakah Projo benar-benar sedang memisahkan diri dari Jokowi, atau hanya sedang menyesuaikan diri dengan arah politik baru yang sedang dirancang?
Sejumlah pengamat menilai, gerakan ini bisa jadi sinyal bahwa Projo ingin memainkan peran baru di panggung politik nasional, tanpa harus terus melekat pada sosok Jokowi yang kini mulai mendekati akhir masa jabatan.
Bagi sebagian pihak, perubahan ini adalah tanda kedewasaan politik. Sebuah proses alami di mana organisasi relawan belajar untuk berdiri sendiri, tidak bergantung pada karisma seorang tokoh.
Namun bagi sebagian lain, langkah Projo justru dinilai sebagai bentuk jarak yang mulai terbentuk antara kelompok relawan dan presiden yang dulu mereka bela habis-habisan.
Meski begitu, Budi Arie menegaskan bahwa hubungan baik dengan Jokowi tetap terjaga.
Ia menyebut Jokowi sebagai “tokoh besar yang telah banyak menginspirasi,” namun menekankan bahwa Projo kini harus melangkah dengan visi yang lebih luas.
“Kami menghormati Pak Jokowi, beliau tetap menjadi panutan. Tapi organisasi harus terus berkembang. Kami tidak ingin terjebak dalam politik individu,” ujar Budi Arie.
Di lapangan, langkah ini mulai terasa. Kegiatan Projo kini lebih sering mengusung tema-tema pemberdayaan masyarakat, pelatihan digital, hingga isu ekonomi rakyat.
Narasi yang dulunya sering menggaungkan nama Jokowi kini bergeser ke isu kesejahteraan dan partisipasi rakyat.
Namun, di balik semua pernyataan dan langkah simbolik itu, tetap saja muncul pertanyaan besar: ke mana arah politik Projo selanjutnya?
Apakah mereka akan tetap menjadi bagian dari poros politik Jokowi, atau mulai membentuk barisan sendiri menjelang pemilu mendatang?
Satu hal yang pasti, perubahan wajah Projo menandai babak baru dalam perjalanan organisasi relawan terbesar era Jokowi.
Langkah mereka kini diamati banyak pihak — baik oleh pendukung setia Jokowi maupun oleh mereka yang tengah mencari arah baru dalam peta politik nasional.
Transformasi Projo bukan sekadar pergantian logo atau narasi. Ia bisa menjadi cerminan dinamika politik pasca-Jokowi, ketika kekuatan relawan mulai mencari jati dirinya sendiri di tengah perubahan zaman.
Dengan segala simbol dan pesan barunya, Projo tampak ingin mengatakan satu hal sederhana:
Mereka lahir dari rakyat — dan kini, mereka memilih kembali ke rakyat.