Refleksi Tasawuf dari Al-Hikam Ibnu Athaillah As-Sakandari)
Dalam hiruk pikuk kehidupan modern, manusia sering kali sibuk mengejar yang belum dimiliki, hingga lalai mensyukuri yang telah ada. Kita baru benar-benar merasakan betapa berharganya sebuah nikmat, ketika nikmat itu telah pergi. Saat tubuh masih kuat, sering kita abaikan nikmat sehat. Ketika keluarga masih lengkap, kita sibuk mengejar ambisi dunia hingga lupa menyapa dengan kasih. Bahkan, ketika rezeki masih lancar, jarang sekali kita ingat untuk berbagi. Padahal, setiap helaan napas, setiap langkah yang dapat kita ayunkan, sejatinya adalah anugerah besar dari Allah yang tak ternilai.
Ibnu Athaillah As-Sakandari, seorang sufi besar Mesir abad ke-13, dalam karya monumentalnya Al-Hikam menulis sebuah kalimat pendek namun dalam maknanya:
“Orang yang tidak mengetahui nilai nikmat yang ada, akan sadar tatkala nikmat itu sudah hilang darinya.”
(Ibnu Athaillah As-Sakandari, Al-Hikam, Hikmah ke-31)
Pesan ini menjadi cermin bagi hati manusia. Ia menampar lembut kesadaran kita bahwa syukur sejati bukanlah sekadar ucapan “Alhamdulillah”, melainkan kesadaran yang hidup dan terjaga. Syukur adalah sikap batin yang memahami bahwa setiap nikmat—baik kecil maupun besar—adalah titipan yang akan diminta pertanggungjawabannya kelak.
Ketika seseorang mampu mensyukuri nikmatnya sebelum kehilangan, ia telah mencapai derajat makrifat. Sebab ia tidak menunggu ujian datang untuk mengingat Allah, dan tidak menunggu kehilangan untuk menghargai karunia.
Namun sebaliknya, banyak manusia baru mendekat kepada Allah setelah nikmatnya dicabut. Sehat berganti sakit, lapang berganti sempit, tawa berganti tangis. Dalam situasi itu, barulah manusia sadar betapa besarnya karunia yang dahulu ia sia-siakan. Inilah yang oleh para sufi disebut tadzkirah, peringatan kasih dari Allah agar manusia kembali mengenal-Nya.
Sahabat dermawan, mari kita hidupkan rasa syukur bukan hanya lewat kata, tetapi melalui tindakan nyata. Mensyukuri nikmat berarti menggunakan karunia itu untuk kebaikan. Ketika kita diberi rezeki, gunakan untuk membantu yang membutuhkan. Ketika diberi waktu, gunakan untuk beribadah dan beramal. Dan ketika diberi keluarga, rawat dengan cinta.
Sebab sejatinya, berbagi adalah bentuk tertinggi dari rasa syukur. Ia bukan sekadar memberi kepada sesama, melainkan cara kita berterima kasih kepada Sang Pemberi.
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu; tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”
(QS. Ibrahim [14]: 7)
Maka sebelum semuanya sirna, marilah kita belajar menghargai, mensyukuri, dan berbagi dari apa yang kita punya. Karena di balik setiap nikmat yang kita rasakan, tersembunyi ujian: apakah kita akan mengingat Sang Pemberi, atau justru melupakan-Nya?
Referensi:
-
Ibnu Athaillah As-Sakandari. Al-Hikam al-‘Ata’iyyah. Kairo: Dar al-Minhaj, tanpa tahun.
-
Al-Qur’an al-Karim, Surah Ibrahim [14]: 7.
-
Al-Ghazali, Abu Hamid. Ihya’ Ulumuddin. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993.
-
Quraish Shihab. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1996.