(Refleksi Tasawuf dari Al-Hikam Ibnu ‘Athaillah As-Sakandari)
Dalam keheningan malam, di antara gemuruh dunia yang tak pernah berhenti, ada kalimat yang menembus dinding kesadaran manusia. Syekh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandari dalam karya monumentalnya Al-Hikam menulis:
“Bagaimana mungkin dapat dibayangkan, kalau sesuatu dapat menjadi hijab atas-Nya, padahal Dia-lah yang menampakkan segala sesuatu?”
(Ibnu ‘Athaillah As-Sakandari, Al-Hikam, Hikmah ke-65)
Ungkapan ini bukan sekadar untaian kata, melainkan tamparan lembut bagi jiwa yang sering merasa jauh dari Allah. Kita sering mengira bahwa dunia dengan segala kesibukannya adalah tabir yang memisahkan kita dari Sang Pencipta. Pekerjaan, harta, keluarga, bahkan ujian hidup kerap kita anggap sebagai penghalang dalam mendekat kepada Allah. Padahal, hakikatnya tidak demikian.
Dalam pandangan tasawuf, dunia ini bukan hijab (penghalang), tetapi tajalli — penampakan dari sifat dan kekuasaan Allah. Langit yang biru, bumi yang hijau, rezeki yang mengalir, hingga cobaan yang menimpa, semuanya adalah ayat—tanda kebesaran-Nya. Dunia bukanlah lawan dari keimanan; dunia hanyalah cermin yang memantulkan cahaya Sang Pencipta.
Jika seseorang melihat dunia dan berhenti pada bentuknya, maka di sanalah hijab itu muncul — bukan karena Allah tersembunyi, tetapi karena hati manusia yang tertutup oleh kelalaian. Dunia tidak pernah benar-benar menjadi penghalang, sebab setiap ciptaan adalah manifestasi dari “Kun fayakun”-Nya. Yang menjadi hijab hanyalah hati yang lupa, hati yang dipenuhi cinta terhadap dunia hingga lupa kepada Pemiliknya.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menjelaskan bahwa hakikat hijab adalah “tertutupnya mata hati dari melihat kebenaran karena sibuk dengan selain Allah.” Maka, solusinya bukan menjauh dari dunia, tetapi menjernihkan hati di tengah dunia. Bekerja tetap perlu, berkeluarga tetap wajib, namun semua dilakukan dengan niat ibadah, agar dunia tidak lagi menjadi tabir, melainkan jembatan menuju makrifat.
Ketika hati telah bersih, maka setiap hal menjadi jalan untuk mengenal Allah. Mata melihat keindahan ciptaan bukan karena bentuknya, tetapi karena keindahan Sang Maha Pencipta di baliknya. Harta bukan lagi godaan, melainkan amanah. Cobaan bukan lagi beban, melainkan panggilan kasih.
Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar.”
(QS. Fussilat [41]: 53)
Sahabat dermawan, dunia ini bukan penghalang untuk mengenal Allah—yang menjadi penghalang hanyalah hati yang tidak lagi berdzikir. Maka bersihkanlah hati dengan zikir, syukur, dan amal kebaikan. Karena bila hati terang, tidak ada lagi yang dinamakan hijab. Setiap hembusan napas, setiap detik kehidupan, akan menjadi jalan untuk melihat cahaya-Nya yang selalu ada di balik segala sesuatu.
Referensi:
-
Ibnu ‘Athaillah As-Sakandari. Al-Hikam al-‘Ata’iyyah. Kairo: Dar al-Minhaj, tanpa tahun.
-
Al-Ghazali, Abu Hamid. Ihya’ Ulumuddin. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993.
-
Al-Qur’an al-Karim, Surah Fussilat [41]: 53.
-
Nurbakhsy, Javad. Sufi Symbolism: The Nurbakhsh Encyclopaedia of Sufi Terminology. New York: Khaniqahi Nimatullahi Publications, 1984.
-
Quraish Shihab. Membaca Sirah Nabi dalam Cahaya Al-Qur’an dan Sunnah Shahihah. Bandung: Mizan, 2009.