Keraton Surakarta Hadiningrat kembali menjadi sorotan publik setelah muncul pengakuan mengejutkan dari Maha Menteri Keraton Solo, KGPA Tedjowulan, terkait proses penobatan KGPH Hangabehi atau Mangkubumi sebagai Pangeran Pati—gelar yang menandai seseorang sebagai calon raja atau penerus takhta. Peristiwa yang terjadi pada Kamis, 13 November 2025, itu sontak memicu kegaduhan internal dan menyulut perdebatan mengenai proses suksesi pasca mangkatnya Pakubuwono XIII (PB XIII).
Dalam keterangan resminya di hadapan awak media, Tedjowulan mengungkap bahwa penobatan tersebut sama sekali tidak mengacu pada kesepakatan formal yang ia ketahui sebelumnya. Bahkan, ia menyebut dirinya merasa dijebak untuk merestui penobatan Mangkubumi dalam forum yang awalnya ia gagas sebagai rapat keluarga untuk membahas situasi internal Keraton di masa berkabung.
Rapat yang Berubah Arah
Semua bermula ketika keluarga besar Keraton Surakarta menghadiri rapat yang digelar di Sasana Handrawina, salah satu ruang penting di kompleks keraton. Tedjowulan, yang juga menjabat sebagai Raja ad interim, mengakui bahwa dialah yang menginisiasi rapat tersebut. Namun, ia menekankan bahwa tujuan utamanya kala itu adalah agar seluruh pihak keluarga sepakat menjaga situasi tetap kondusif usai wafatnya PB XIII.
“Awalnya rapat itu hanya untuk menyampaikan agar semua pihak menahan diri selama masa berkabung. Saya tidak pernah diajak rembukan pengukuhan atau pengukuhan calon raja,” kata Tedjowulan di Sasana Purnama, Kamis malam.
Menurut tradisi Keraton Surakarta, proses suksesi tidak dilakukan secara tergesa-gesa. Ada masa berkabung, biasanya minimal 40 hari, sebelum pembahasan mengenai penerus dilakukan secara resmi dan menyeluruh. Tedjowulan menegaskan bahwa ia sejak awal meminta agar pembahasan suksesi mengikuti pakem tersebut.
“Kan sudah saya sampaikan dari awal, 40 hari lah minimal sebelum bahas suksesi,” ungkapnya.
Namun situasi berkembang di luar dugaan. Pada saat rapat tengah berlangsung, beberapa peserta rapat dari keluarga besar Keraton mendadak mengajukan agenda tambahan: penobatan KGPH Hangabehi atau Mangkubumi sebagai Pangeran Pati, yang secara otomatis menjadikannya pewaris PB XIII.
“Saya Tahu-Tahu Diminta Jadi Saksi”
Tedjowulan mengaku sangat terkejut ketika tiba-tiba diminta menjadi saksi penobatan tersebut tanpa adanya pembahasan sebelumnya.
“Saya tahu-tahu dimintai untuk jadi nyekseni proses tadi,” tuturnya dengan nada kecewa.
Agenda yang semula dirancang untuk rekonsiliasi itu mendadak berubah menjadi prosesi formal penobatan. Menurutnya, prosesi tersebut mencakup pengikraran, penetapan, dan pernyataan bahwa Mangkubumi dinobatkan sebagai Pangeran Pati—sebuah gelar yang menempatkan seseorang sebagai calon raja sah penerus tahta Keraton Surakarta.
“Ada pengikraran, penobatan menjadikan Hangabehi atau Mangkubumi jadi pewaris Pakubuwono XIII sebagai Pangeran Pati,” ujarnya menegaskan.
Tedjowulan kemudian mengatakan bahwa dirinya tidak tahu-menahu mengenai keberadaan agenda tambahan itu. Bahkan, ia menyebut situasi yang dialaminya sebagai bentuk fait accompli, sebuah kondisi ketika seseorang dihadapkan pada keputusan final tanpa kesempatan untuk menolak.
“Kalau bahasa Inggrisnya di-fait accompli mungkin,” katanya, menandaskan bahwa keputusan tersebut seolah sudah dipersiapkan jauh sebelum rapat dimulai.
Terpaksa Memberikan Restu
Dalam suasana penuh ketegangan dan mata banyak orang tertuju padanya, Tedjowulan mengaku tidak memiliki banyak pilihan selain memberikan restu. Hal itu terjadi ketika Mangkubumi melakukan sungkem, yaitu ritual penghormatan dengan bersimpuh dan mencium lutut atau kaki orang yang dihormati.
“Yo, saya ini kan wong tuwek (orang tua). Disungkemi, disuwuni pangestu (diminta restu), ya sudah saya pengestoni saja,” kata Tedjowulan.
Meski demikian, ia kembali menegaskan bahwa ia sama sekali tidak mengetahui adanya tambahan acara penobatan tersebut.
“Prinsipnya saya nggak ngerti ada tambahan acara itu,” ucapnya tegas.
Pengakuan ini sontak mengguncang suasana internal Keraton Surakarta yang sejak wafatnya PB XIII memang tengah berada pada situasi sensitif.
Keraton Surakarta di Tengah Ketidakpastian Suksesi
Setelah wafatnya PB XIII, sejumlah nama muncul dalam perbincangan mengenai calon penerus. Salah satu nama yang disebut-sebut adalah KGPAA Hamangkunegoro, putra dari PB XIII. Namun, Tedjowulan meminta seluruh pihak untuk menahan diri agar tidak memicu perpecahan.
“Walau sudah ada yang menyebutkan nama, kami belum menetapkan siapa yang akan menjadi raja Keraton Surakarta berikutnya,” ujarnya.
Ia juga berjanji untuk segera mengumpulkan seluruh putradalem, yaitu anak-anak PB XIII, untuk menyelaraskan pandangan dan menghindari konflik internal yang dapat memperburuk citra Keraton di mata publik.
“Saya akan mengumpulkan semua saudara-saudara kandung Pakubuwono XIII, sekaligus merangkul putradalem untuk menyatukan pandangan tentang masa depan Keraton Surakarta,” katanya.
Sebagai informasi tambahan, Tedjowulan adalah adik PB XIII, meski mereka berbeda ibu. Hubungan keduanya selama ini dikenal cukup harmonis, terutama dalam menjaga stabilitas internal Keraton di tengah berbagai gejolak politik keluarga.
Antara Tradisi, Politik Internal, dan Kepentingan Keluarga
Suksesi di Keraton Surakarta bukan hanya persoalan tradisi, tetapi juga persoalan politik internal dan pertimbangan genealogis. Penobatan Mangkubumi sebagai Pangeran Pati memang memperkuat posisinya sebagai calon kuat penerus tahta, tetapi cara dan proses pengukuhan yang dipertanyakan menjadi sorotan utama.
Banyak yang menilai bahwa penobatan mendadak tersebut berpotensi menimbulkan gesekan internal antara kubu keluarga keraton. Apalagi, suksesi di Keraton Surakarta memiliki pengaruh besar terhadap simbol kebudayaan Jawa dan identitas masyarakat Solo.
Dalam konteks budaya Jawa, proses penobatan pewaris tahta tidak hanya mengikuti garis keturunan, tetapi juga mempertimbangkan restu keluarga, restu sesepuh, serta konsensus internal. Hal inilah yang ditekankan Tedjowulan: bahwa suksesi tidak boleh dilakukan dalam suasana tergesa-gesa, apalagi di tengah masa berkabung.
Menanti Babak Baru Keraton Surakarta
Dengan adanya pengakuan dari Tedjowulan, polemik suksesi Keraton Surakarta diperkirakan akan memasuki babak baru. Rencana Tedjowulan untuk mengumpulkan seluruh keluarga besar dan putradalem menjadi langkah penting untuk meredam ketegangan dan mencari kembali titik temu demi keberlanjutan Keraton sebagai pusat budaya Jawa.
Hingga kini, belum ada pernyataan resmi dari pihak lain dalam keluarga Keraton mengenai bantahan atau klarifikasi atas penobatan Mangkubumi tersebut. Namun publik menantikan apakah keputusan itu akan tetap dipertahankan atau kembali ditinjau ulang melalui mekanisme musyawarah keluarga.
Apa pun perkembangan berikutnya, satu hal jelas: Keraton Surakarta tengah berada pada masa transisi yang sangat menentukan. Keputusan-keputusan yang diambil pada masa ini akan berdampak panjang pada tradisi, kehormatan, dan masa depan institusi budaya yang menjadi salah satu simbol peradaban Jawa itu.