
Bab 1: Suara yang Hilang
Langit sore tampak seperti luka terbuka—biru keabu-abuan dengan semburat merah yang tampak lebih seperti darah kering daripada senja yang indah. Angin membawa dingin yang menusuk, bukan karena cuaca, tapi karena sesuatu yang hilang di dalam diri Elen.
Di bangku tua di taman belakang gedung perpustakaan kota, Elen duduk terpaku. Tangannya dimasukkan ke saku jaket lusuh yang sudah mulai berlubang di siku, kepalanya tertunduk seperti ingin tenggelam ke dalam dadanya sendiri. Di tangannya tergenggam amplop putih, berisi penolakan kerja yang ke-12 bulan itu.
“Sungguh ironis,” gumamnya, “di dunia yang penuh kebisingan ini, Tuhan justru memilih diam.”
Dia bukan orang yang religius fanatik. Tapi dia dibesarkan dengan doa. Dia tumbuh dalam dekapan hangat ibunya yang selalu menyisipkan nama Tuhan dalam setiap obrolan ringan. Namun sekarang, ibunya telah tiada—meninggal dua tahun lalu karena komplikasi jantung, dan sejak itu Elen merasa seperti kehilangan peta di tengah hutan yang asing.
“Kalau Kau memang ada… kenapa Kau sembunyi saat aku butuh?” katanya pada langit, tanpa berharap jawaban. Hanya angin yang menjawab, meniup rambutnya dan menggoyangkan ranting-ranting gersang di atasnya.
Bab 2: Gadis dengan Mantel Merah
“Hei, Om!”
Elen menoleh, agak terkejut. Seorang gadis kecil berdiri tak jauh darinya. Usianya mungkin tujuh atau delapan tahun. Pipinya merah karena udara dingin, dan ia mengenakan mantel merah yang tampak kebesaran. Di tangannya tergenggam sepotong roti isi keju yang setengah dimakan.
“Kamu kelihatan sedih banget,” katanya sambil mengunyah.
Elen terdiam. Tak tahu harus tersenyum, menangis, atau berpaling.
“Aku cuma… nunggu keajaiban,” jawabnya akhirnya.
Gadis itu mengangguk serius, seperti mengerti. Lalu tanpa ragu, ia membelah rotinya menjadi dua dan menyodorkan separuhnya pada Elen.
“Ambil. Kata Ibu, keajaiban kadang datang kecil dulu. Biar nggak bikin kita kaget.”
Elen menatap tangan kecil itu. Tangannya sendiri, yang gemetar dan kasar karena kerja serabutan yang tak lagi tersedia, menerima roti itu seperti menerima peta tak kasatmata.
“Terima kasih,” gumamnya.
Gadis itu tersenyum dan mulai beranjak pergi. Tapi sebelum benar-benar menghilang di tikungan taman, ia berbalik dan berkata:
“Langit itu nggak pernah benar-benar sepi, Om. Kita aja yang kadang nggak tahu caranya dengar.”
Bab 3: Surat Tua dan Kenangan
Malam itu Elen duduk di kamar kosnya yang sempit. Dindingnya berjamur, langit-langitnya retak. Roti dari gadis kecil itu masih terbungkus tisu di meja. Ia belum sanggup memakannya. Ada sesuatu yang terlalu suci dalam isyarat sederhana tadi.
Ia membuka laci yang sudah hampir rusak, menarik keluar kotak sepatu berisi surat-surat dan kenangan ibunya. Di antara tumpukan kartu ucapan ulang tahun dan foto-foto usang, ia menemukan satu amplop berwarna gading, ditulis tangan ibunya.
“Untuk Elen, dibuka saat kamu merasa Tuhan terlalu jauh.”
Tangannya gemetar saat membuka surat itu. Isinya singkat.
“Nak, kalau suatu hari kamu merasa doa-doamu membentur dinding, jangan panik. Kadang Tuhan memang diam. Bukan karena Dia tidak peduli. Tapi karena Dia sedang memberimu ruang untuk mendengar suara hatimu sendiri. Dan kamu tahu? Suara hatimu… adalah gema dari-Nya juga.”
Air mata Elen jatuh tanpa suara. Ia membayangkan ibunya—lelah, sakit, tapi tetap sempat menulis ini. Tetap percaya pada harapan, bahkan di tengah sakitnya.
Ia merasa seperti Harry yang akhirnya tahu surat ibunya disembunyikan selama ini oleh Dumbledore. Perih. Tapi juga—terang.
Bab 4: Langit Mulai Bicara
Pagi berikutnya, Elen bangun sebelum alarm-nya berbunyi. Tidak karena semangat. Tapi karena keyakinan yang samar-samar mulai tumbuh.
Ia menyalakan laptop yang sudah lemot. Membuka dokumen lamaran kerja yang telah ditolak berkali-kali. Ia mengedit satu kalimat pembuka:
“Saya percaya, bahkan dalam keadaan yang paling gelap, cahaya bisa ditemukan—asal kita tetap membuka mata dan hati.”
Ia mengirim 3 lamaran hari itu. Lalu berjalan ke taman, menunggu—bukan jawaban, tapi tanda.
Dan di bangku yang sama kemarin, seseorang meninggalkan sebuah syal merah kecil.
Tidak ada catatan.
Tapi Elen tahu, gadis itu nyata. Dan Tuhan pun… barangkali juga nyata. Hanya tidak selalu seperti yang kita bayangkan.
🌙 Penutup:
Tuhan mungkin tidak turun dari langit seperti pahlawan dalam film.
Tapi Ia bisa muncul dalam bentuk gadis kecil dan roti hangat.
Dalam surat tua dari ibu.
Atau dalam keberanian untuk bangun satu hari lagi.
Langit tak pernah benar-benar sepi. Hanya kadang kita butuh belajar cara baru untuk mendengarnya.
Cirebon, 22 Mei 2025 – Edy Susanto