
Di sudut kota tua yang nyaris dilupakan peta, berdiri sebuah taman bernama Oakley, tempat burung-burung masih menyanyikan lagu meski dunia penuh kekacauan.
Dan di taman itu, setiap pagi sejak tiga bulan lalu, duduklah seorang pria bernama Theo Bramley di bangku kayu yang sama—yang mulai berderit setiap kali ia duduk, seolah mengeluh karena harus kembali menopang beban harapan manusia.
Theo adalah lelaki biasa. Tak punya jubah sihir, tak pernah menerima surat dari sekolah sihir, apalagi punya tongkat ajaib. Tapi jika kamu melihat matanya, ada cahaya kecil yang keras kepala di sana. Cahaya orang-orang yang belum menyerah.
Setiap hari, Theo membawa map cokelat berisi berlembar-lembar CV yang sudah lusuh. Ia pergi pagi-pagi ke pusat kota, menumpang bus yang kini penuh orang-orang diam—seperti prajurit yang kehilangan perang sebelum berangkat. Ia mampir ke kantor-kantor, toko, bahkan pabrik roti yang hanya butuh pelayan malam.
Dan setiap hari pula, ia pulang dengan jawaban yang sama:
“Maaf, kami tidak sedang membuka lowongan.”
Atau lebih menyakitkan:
“Kami sedang mengurangi tenaga kerja, Pak.”
Taman dan Langit
Setelah setiap penolakan, Theo kembali ke taman Oakley. Duduk. Memandang langit. Tidak untuk memikirkan jawaban. Tapi untuk berharap ada sesuatu dari langit yang bisa mengubah segalanya.
Kadang anak-anak kecil bermain di dekatnya, menatap pria bermata teduh itu dengan penasaran. Pernah seorang anak bernama Elsie memberinya permen. “Agar Bapak tidak sedih,” katanya.
Hari ke-94
Hari itu hujan turun tipis. Taman lengang. Theo tetap datang, duduk di bangkunya yang setia. Ia menggenggam mapnya yang sudah mulai lembab.
Ia mendongak ke langit dan bergumam, “Kalau memang ada keajaiban, tolong jangan terlalu lama, ya.”
Lalu ia tertawa kecil. Pada dirinya sendiri.
Dan itulah saat ketika seseorang berbicara dari belakangnya.
“Apakah Anda menunggu seseorang?”
Theo menoleh. Seorang wanita paruh baya berdiri, dengan payung besar berwarna biru dan mantel wol berwarna plum. Ia tampak seperti seseorang dari cerita—rapi, sopan, tapi dengan aura yang sulit dijelaskan. Ada cahaya kecil dari matanya.
“Tidak, Bu. Saya cuma… menunggu keajaiban.”
Wanita itu tersenyum.
“Kadang keajaiban menyamar jadi manusia biasa, Pak. Atau mungkin… jadi pekerjaan yang tak pernah Anda bayangkan sebelumnya.”
Tawaran Tak Terduga
Namanya Ms. Everlyn Carr, pendiri sebuah perpustakaan komunitas kecil yang hampir tutup karena tak ada staf tetap.
“Saya lewat sini setiap minggu, dan selalu melihat Anda duduk di sini. Setia seperti tiang lampu taman,” katanya sambil tertawa kecil.
Ia butuh seseorang yang teliti, sabar, dan mau mendengarkan anak-anak membaca dengan terbata-bata.
Theo menatapnya lama.
“Saya tak punya pengalaman di perpustakaan.”
“Tak apa. Yang saya butuhkan hanya satu hal—seseorang yang masih percaya bahwa dunia bisa diperbaiki… satu buku, satu anak, satu hari pada satu waktu.”
Theo menelan ludah. Untuk pertama kalinya dalam 94 hari, ia merasa map cokelat di tangannya terasa ringan.
Penutup
Tiga bulan kemudian, bangku kayu taman Oakley tetap ditempati. Tapi kini bukan untuk menunggu keajaiban. Theo duduk di sana sambil membaca buku anak-anak, mencoret-coret daftar bacaan, menyiapkan cerita esok hari.
Anak-anak memanggilnya “Pak Theo si Pencerita.”
Dan setiap kali hujan turun, ia tersenyum—karena ia tahu, keajaiban memang turun dari langit. Hanya saja, kadang ia berwujud wanita dengan payung biru dan lowongan tak terduga.
Pesan Cerita:
“Keajaiban tak selalu datang saat kamu memintanya. Tapi ia selalu datang ketika kamu tetap menunggunya… dengan hati terbuka.”
Cirebon 22 Mei 2025 – Siedysoes