
Tak ada yang istimewa dari Kampung Baruga, selain jalan berdebu, suara ayam yang saling bersahut sejak fajar, dan tawa anak-anak yang bermain layang-layang meski angin kerap malas berembus.
Di kampung itu, tinggal seorang lelaki bernama Pak Rafi. Usianya sudah mendekati enam puluh, tapi punggungnya masih tegak. Di matanya, ada sorot tekun dari orang yang tak pernah tahu kemewahan, tapi mengerti betul cara menjaga harga diri.
Dulu, Pak Rafi bekerja sebagai sopir truk lintas provinsi. Tapi sejak pandemi datang dan disusul krisis ekonomi, pekerjaan itu tinggal kenangan. Truknya dijual untuk membayar utang rumah sakit istrinya yang kemudian… tak kembali.
Kini, ia hidup dari menjual sapu lidi, hasil anyaman tangannya sendiri, yang ia bawa keliling kota kecil dengan sepeda tuanya. Kadang satu-dua orang membeli. Kadang hanya tatapan kasihan yang ia bawa pulang.
Tapi tahun ini berbeda. Tahun ini, Pak Rafi memasang satu niat:
“Aku ingin berkurban.”
Tetangganya tertawa ketika ia mengatakan itu.
“Pak Rafi, jangankan beli kambing, beli beras aja sekarang pakai mikir!”
“Apa nggak mending buat kebutuhan sendiri?”
Tapi Pak Rafi hanya tersenyum. Senyumnya bukan senyum yang menantang atau sok tahu. Itu senyum dari seseorang yang tahu bahwa keimanan yang paling sunyi adalah ketika hanya Allah yang tahu niatmu.
Ia mulai menyisihkan uangnya. Seribu demi seribu. Kadang ia hanya makan singkong agar bisa menabung lebih. Kadang ia harus menolak tawaran jajan cucunya yang tinggal bersamanya.
Semakin dekat hari raya, harapan dan kenyataan saling berpacu. Harga kambing naik. Tabungannya lambat. Tapi ia terus berjalan, terus menjajakan sapunya, meski keringat bercucuran, dan lututnya mulai terasa seperti kayu tua.
Malam sebelum Idul Adha, Pak Rafi hanya punya setengah dari harga kambing termurah. Ia duduk lama di teras, menatap langit yang mulai dipenuhi bintang.
“Kalau tak bisa kambing, ya Allah… terimalah niatku,” bisiknya lirih.
Pagi itu, ia tetap pergi ke lapangan masjid, mengenakan baju terbaiknya — kemeja putih warisan mendiang istrinya. Di masjid, orang-orang sibuk. Kambing-kambing berdiri terikat, mengembik, dan anak-anak berlarian sambil menunjuk hewan kurban sambil tertawa girang.
Ketika panitia bertanya, “Pak Rafi, ikut berkurban tahun ini?”
Ia hendak menggeleng. Tapi sebelum sempat bicara, suara kecil menyelip.
“Saya mau ikut patungan sama Kakek!” seru Mika, cucunya, yang tiba-tiba berdiri di sampingnya, mengacungkan celengan ayam warna merah muda.
“Saya bawa celengan saya, isinya banyak loh! Buat kambing!”
Panitia tertawa. Pak Rafi tercekat. Tapi Mika serius.
“Bunda bilang, kurban itu bukan soal kaya. Tapi soal hati.”
Air mata Pak Rafi tak bisa ditahan lagi. Ia tahu uang dalam celengan itu mungkin tak cukup bahkan untuk membeli kaki kambing. Tapi hati cucunya lebih mulia dari banyak orang dewasa.
Panitia lalu berbisik sebentar, lalu salah satu dari mereka berkata,
“Pak Rafi… ada kambing sumbangan dari seseorang yang tak ingin disebut namanya. Tapi ia bilang: serahkan kepada yang paling tulus.”
Hari itu, seekor kambing putih kecil disembelih atas nama Rafi bin Malik.
Pak Rafi tidak bersorak. Ia hanya menunduk lama. Bibirnya bergetar membaca doa. Dalam hatinya, ia tahu: kurban bukan tentang besar kecilnya hewan. Tapi tentang menyembelih ego, kesombongan, dan rasa takut kehilangan. Dan hari itu, ia merasa lebih kaya dari siapa pun di kampung itu.
Malamnya, Mika bertanya, “Kakek senang?”
Pak Rafi mengangguk. “Sangat. Karena hari ini, Allah menerima kurban kita.”
“Walau bukan Kakek yang beli kambingnya?”
Pak Rafi memeluk Mika.
“Kambing bisa datang dari mana saja, Nak. Tapi niat… hanya bisa lahir dari hati kita sendiri.”
Di langit malam itu, bintang terlihat lebih terang. Dan di hati Pak Rafi, terasa seperti satu ekor kambing… sedang berlari gembira di padang hijau yang luas — disaksikan oleh langit yang Maha Tahu.
Cirebon 22 Mei 2025 – Siedysoes