
Aku berdiri di pelataran Stasiun Beijing Selatan, membawa koper abu-abu tua, dan selembar doa yang baru saja dilantunkan Ibu di telingaku lewat telepon.
Namaku Zaidan Al-Azhar. Usia delapan belas tahun. Anak pesantren yang ditakdirkan menjadi perantau di negeri yang tak pernah kuimpikan sebelumnya: Tiongkok.
Langfang menjadi rumahku yang baru. Kota kecil antara Beijing dan Tianjin. Datar dan tenang, tapi terasa asing seperti huruf kanji yang tak bisa kubaca. Aku datang sebagai mahasiswa program pertukaran budaya, tapi lebih dari itu: aku datang sebagai anak muda yang mencari jati dirinya di negeri orang.
Hari-hari pertamaku di Negeri Tirai Bambu adalah lembar ujian yang tak tertulis. Makanan halal yang sulit dicari, adzan yang hilang dari langit-langit kota, dan bahasa yang seperti teka-teki tanpa kunci. Tapi yang paling berat: sepi. Sepi yang menempel di dinding kamar sempit apartemen kampus, seperti bayangan yang tak pernah pergi meski lampu padam.
Namun aku teringat kalimat Ustaz Burhan, guru tafsirku di pesantren:
> “Allah tak pernah menempatkan hamba-Nya di suatu negeri kecuali karena ada rahmat-Nya di sana.”
Itulah yang membuatku tetap bangun sebelum subuh, tetap berwudhu dengan air dingin yang menggigit, dan tetap membaca Al-Kahfi meski teman sekamar Tionghoaku tak paham mengapa aku berbicara dalam bahasa langit.
Suatu hari, di kelas sejarah Asia Timur, dosen perempuan berkacamata bundar menanyakan pendapatku.
“Zaidan, mengapa kau memilih datang ke Cina padahal kau bisa belajar di Timur Tengah seperti kebanyakan santri lainnya?”
Aku diam sejenak. Lalu kuangkat wajah dan berkata:
“Karena aku ingin belajar tentang peradaban dari mereka yang pernah menaklukkan dunia, tapi juga ingin membawa Islam sebagai cahaya yang tidak memaksa, tapi menghangatkan.”
Ruangan senyap. Tapi dalam diam itu, aku tahu kalimatku merambat ke hati mereka.
Di malam yang beku, ketika suhu turun hingga dua derajat, aku duduk di balkon lantai tujuh, menatap langit Langfang yang memerah, seperti wajah yang menahan tangis.
Lalu tiba-tiba, Chen — teman Tionghoa yang dulu hanya menyapa dengan anggukan — duduk di sebelahku.
“Aku dengar kamu hafal Qur’an?” tanyanya dengan bahasa Inggris patah-patah.
Aku tersenyum. “Sedikit.”
“Bolehkah aku dengar? Katanya suaranya seperti musik, tapi dari surga.”
Aku mengangguk. Lalu kugumamkan Surah Ar-Rahman. Perlahan. Lembut. Dengan harap, bukan untuk membuatnya masuk Islam, tapi agar dia mengenal bahwa langit itu satu, dan cinta bisa datang dalam bentuk suara.
Ketika ayat “Fa bi ayyi aalaa’i Rabbikumaa tukazzibaan” terulang, matanya berkaca-kaca.
> “Nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”
Di negeri yang dahulu kuanggap dingin dan kaku, aku mulai menemukan manusia yang hatinya hangat.
Aku memang tak pernah menyangka akan merantau sejauh ini. Tapi seperti kisah Yusuf yang dijatuhkan ke sumur, kadang perantauan bukanlah bentuk pengasingan, melainkan panggilan rahasia Tuhan untuk mengangkatmu — bukan sekadar dalam derajat dunia, tapi dalam pemahaman akan hidup dan makna.
Langit di Langfang hari itu tak lagi terasa asing. Aku mengerti bahwa bumi Allah luas. Dan di setiap negeri, Allah menitipkan pelajaran, sahabat, dan jalan pulang — meski bukan ke rumah, tapi kepada diri sendiri yang utuh.
Balqis Salsabila – TJI