Setiap pagi, sebelum matahari benar-benar membuka matanya, langkah berat terdengar menuruni anak tangga kayu tua yang selalu berderit. Di bawah tangga itu, selalu ada sepasang sepatu bot lusuh — kulitnya retak-retak, solnya tipis hampir seperti kertas. Itu adalah sepatu milik Tuan Merrin.
Bagi warga Jalan Willow, Tuan Merrin hanyalah pria sederhana dengan bahu lebar dan tangan kasar, yang bekerja dari fajar hingga senja. Tapi bagi keluarganya, ia adalah pahlawan—tanpa jubah, tanpa tongkat sihir, hanya dengan kekuatan tekad dan cinta yang tak pernah habis.
Ia bekerja sebagai buruh di pabrik besi, tempat api berkobar sepanjang hari dan suara palu menghantam besi mengisi udara seperti dentuman genderang perang. Tangannya penuh luka kecil dan bekas luka lama, namun ia selalu membawa pulang sekotak kecil roti atau sebuah buku usang dari toko loak untuk putrinya, Lila.
Perjalanan hidupnya tidak mudah. Setiap langkah seakan melawan arus dunia yang besar dan acuh tak acuh. Ia kehilangan istrinya saat Lila masih balita—peristiwa yang mencabik hatinya menjadi serpihan kecil. Tapi Merrin tidak pernah membiarkan duka itu mengambil segalanya. Ia mengubahnya menjadi kekuatan. Untuk Lila. Untuk dirinya sendiri.
Setiap malam, setelah menjemur pakaian, mencuci piring, dan memperbaiki atap bocor dengan caranya sendiri yang ceroboh, Merrin duduk di dekat perapian kecil. Lila akan memanjat ke pangkuannya, membawa buku yang telah dibelinya.
“Bacakan yang tentang si kuda putih, Ayah!” katanya dengan mata berbinar.
Merrin selalu membacakannya, suaranya serak namun penuh warna, seolah ia mengukir dunia lain dari setiap kata yang diucapkan. Di dalam cerita-cerita itu, mereka bukanlah keluarga kecil yang hidup pas-pasan. Mereka adalah penjelajah padang luas, penakluk badai, teman para peri.
Pada malam-malam tertentu, ketika Lila telah tertidur dengan buku terbuka di dadanya, Merrin akan duduk lebih lama di dekat perapian, menatap nyala api yang menari.
“Apa aku cukup, Martha?” ia akan berbisik kepada udara kosong, seolah-olah istrinya duduk tak jauh darinya. “Apakah aku cukup kuat untuk menjadi ayah dan ibu sekaligus?”
Tentu saja tidak ada jawaban. Hanya suara api berderak dan angin yang menelusup lewat celah-celah jendela.
Tetapi kadang-kadang, ketika ia memandangi wajah Lila dalam tidurnya — rambut ikalnya, tangan kecilnya yang menggenggam sudut bantal — Merrin merasa ada kekuatan lain yang menemaninya. Sesuatu yang lebih besar dari rasa lelahnya, dari kekhawatiran yang menyesakkan dada. Sesuatu seperti harapan, atau mungkin cinta itu sendiri, yang mengambil bentuk sederhana: sebuah dekapan hangat, sebuah ciuman di kening, atau sepatu tua yang tetap kokoh di bawah tangga.
Ia tahu hidup akan terus keras. Jalan mereka masih panjang dan berbatu. Tapi selama Lila tersenyum setiap pagi, memeluknya sebelum tidur setiap malam, Merrin tahu ia bisa menanggung apa pun.
Karena di dunia yang besar dan penuh ketidakpastian ini, ia masih memegang satu sihir yang tidak akan pernah pudar: cinta seorang ayah.
Karya Edy Susanto